[REVIEW BUKU] CINTA TAK PERNAH TEPAT WAKTU – PUTHUT EA.

LRM_EXPORT_20170417_181853

“Aku” seorang penulis yang terjebak dalam trauma masa lalu yang cukup kelam. Ia terus melangkah, berusaha menyembuhkan lukanya dan berharap luka masa lalu itu bisa sembuh sebelum dia memulai sesuatu yang baru. Novel ini menceritakan tentang tokoh “Aku” dengan pergolakan pemikirannya, goncangan batin, pencarian cinta, dan upaya menyembuhkan luka. Novel ini mengajarkan kita untuk terus berjalan meskipun deretan ironi terlah banyak melukai.  
©Puthut EA
Cetakan kelima
Buku Mojok, Februari 2016
236 hlm
***
Saat menenteng buku ini kesebuah cafe, ada seorang kawan yang menertawakan saya, “Wah ra luwes, rai sangar mocone novel cinta.” Wah brengsek pikir saya. Sepertinya memang ada suatu sentimen diantara kawan-kawan tongkrongan saya pada sebuah novel atau buku yang mengangkat perihal cinta sebagai tema utamanya—apalagi judul bukunya dengan terang-terangan menggunakan kata C.I.N.T.A.
Awalnyapun ada sedikit sentimen yang muncul pada benak saya terhadap buku ini. Namun entah mengapa saat ke Togamas mencari buku Para Bajingan yang Menyenangkan, buku ini tiba-tiba mengusik pengelihatan saya. Entah karena apa tiba-tiba saya mengambil buku ini juga, padahal buku ini tidak masuk dalam daftar rencana belanjaan buku saya waktu itu.
Dan setelah selesai membaca buku ini, saya cuma bisa misuh, “Asu… keren tenan.”
Premisnya sebenarnya sederhana, tokoh “Aku” yang dituntut untuk mencari pasangan tapi masih sulit untuk lepas dari luka masa lalu. Kasarnya, tokoh “Aku” ini adalah seorang laki-laki yang susah move on.
Saya tidak habis pikir kenapa premis sesederhana ini bisa dieksekusi dengan begitu cantik oleh mas Puthut. Sesuatu yang tampak sederhana ini bisa diolah menjadi sajian yang kompleks tapi mudah untuk dicerna.
Perihal susah move on ini berhasil disajikan oleh mas Puthut dengan berkelas. Konfliknya tidak kacangan, pergolakan batin yang dihadirkan tidak sepele. Saat akhirnya bagian konflik ini mulai diceritakan, saya seperti sedang ditinju Chris Jon di bagian wajah. Efek kejutnya sangat terasa.
Masuk Bab 8, tensi sudah mulai naik. Cerita-cerita samar di awal-awal bab mulai terkoneksi dengan konflik utama. Kisah kelam mulai diungkap, badai mulai dihadirkan. Dari bab 8 hingga bab-bab selanjutnya, saya merasakan ada pedih yang mulai dimuntahkan. Pedihnya tidak main-main, bahkan orang setegar saya, cukup terkoyak juga waktu membacanya.
Bagaimana tidak, di buku Cinta Tak Pernah Tepat Waktu ini, saya dihantam dengan pedih yang terus berulang. Secara bertahap, mas Puthut mengungkap luka-luka yang selama ini diendapkan oleh tokoh “Aku”.
Memasuki bagian tersebut, saya seperti diajak menaiki roller coaster yang menanjak sangat tinggi dan kemudian dibawa terjun bebas hingga rasanya jantung ini mau copot.
Yang benar-benar brengsek, kepedihan yang dulu sempat saya rasakan mulai muncul seperti badai kenangan. Saat badai kenangan itu menyeruak kepermukaan, ia menghadirkan satu kepastian: rasa sedih yang menyesakkan.
Saya pernah mengalami kondisi yang hampir sama dengan tokoh “Aku” ini. Sesaat setelah apa yang sudah saya perjuangkan menghilang,  semangat saya untuk hidup juga turut hilang. Seperti tidak ada lagi yang bisa saya perjuangkan, hidup seperti omong kosong.
Saya menghabiskan waktu selama satu bulan mengurung diri dikamar, tergeletak seperti paus terdampar, menghabiskan waktu menonton film, mendengarkan musik keras-keras, intinya selama sebulan itu saya menjadi pribadi yang benar-benar menyedihkan. Untungnya saya berhasil berdamai dengan keadaan dan berdamai dengan diri saya sendiri selama 1 bulan itu. Jika tidak, mungkin saya sudah jadi gila sekarang.
Saya percaya, suatu karya yang bagus adalah karya yang berhasil memunculkan relatable dengan kehidupan penikmat karyanya. Dan novel ini bekerja dengan sangat baik dan berhasil memunculkan berkas-berkas menjijikan yang sudah cukup lama saya pendam.
Kisah dalam novel bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang hidup. Bagaimana kita diajar untuk merelakan dan berdamai dengan diri sendiri.
Dalam novel ini, mas Puthut menghadirkan diksi-diksi yang tidak terlalu berat. Sangat mudah dipahami. Ada permainan sudut pandang orang ke dua (kata ganti: kamu) di beberapa bab. Awalnya sempat membuat bingung memang, tapi setelah memahami permainan ini, akhirnya bagian itu malah menjadi bagian yang terasa sangat menyenangkan. Bagian tersebut sangat smooth untuk menunjukan alam kontemplasi si tokoh utama.
Mas Puthut bisa begitu detail dalam memberikan deskripsi. Karena detail ini, saya sebagai pembaca seolah dibawa masuk dalam dunia di novel ini. Saya seperti bisa membayangkan kontrakan tokoh “Aku”, bagaimana susunan ruangannya dan bagaimana kondisi kamar dari si tokoh “Aku” ini. Lebih lagi, saat tokoh “Aku” mulai menceritakan tentang Surga-surga kecil dan orang-orang yang ada disitu dan juga saat dia menceritakan tentang pekerjaannya, detail yang dihadirkan sungguh mengagumkan. Semesta yang ditinggali tokoh “Aku” ini terasa nyata dalam khayalan saya dan membuat saya ingin turut tinggal disitu.
Saya sangat suka dengan plot ceritanya. Dibagian awal dibuat agak lambat. Pembaca seperti diajak untuk menerka-nerka, hingga akhirnya secara bertahap konflik mulai dibangun dan secara bertubi-tubi pembaca dihantamkan dengan ironi yang menjadi konflik utama di novel ini.
Dari awal hingga akhir, saya sangat menikmati novel ini. Sempat saya berpikir bahwa buku ini 100% adalah kisah nyata mas Puthut. Tapi sekali lagi saya diingatkan bahwa Puthut EA adalah seorang penulis fiksi, dia pasti akan meramu karyanya secara fiksi meski ide kisahnya berasal dari kisah nyata. Jadi rasanya tidak terlalu berlebihan jika saya menyebut mas Puthut sebagai seorang pencerita yang ulung karena dia bisa memunculkan kesamaran batas tipis antara fiksi dan kisah nyata.
Pada akhirnya, saya baru memahami kenapa buku ini diberi judul Cinta Tak Pernah Tepat Waktu setelah menyelesaikan hingga bagian akhir. Semoga saya selalu siap sedia saat Cinta datang diwaktu yang tak tepat. (JA)
***
QUOTES:

“Aku tidak ingin cinta yang sejati. Tapi biarkan aku mencicipi cinta yang bukan sesaat. Biarkan aku berjuang dan bertahan di sana. Biarkan aku tersiksa untuk terus belajar bersetia. Aku rela tenggelam di sana, sebagaimana segelintir orang yang beruntung mendapatkannya.” 

“Benar bahwa kamu punya hak untuk mencoba menemukan pengganti perempuan itu. Tapi bukan begitu caranya. Ibarat seorang atlet yang cedera, seharusnya disembuhkan dulu luka itu, baru berlatih lagi dan bertanding lagi. Sebab jika ia terluka dan tetap berlatih serta bertanding, kamu akan semakin terluka, bahkan jika kasus itu sepertimu, bisa melukai orang lain.” 

“Mengapa kamu beri aku imbalan yang sangat besar untuk kerjaku yang sangat sederhana ini? Sementara aku tahu orang-orang di sekitarmu kamu peras keringat dan pikirannya, kamu lucuti mental hidupnya.” 

“Lalu datang masa gigil itu. Dingin yang membekap erat tulang punggungku. Memerasnya, memelintirnya sampai kepada rasa sakit yang tak tertanggungkan. Sampai kepada hening yang paling bening. Sampai kepada gunung hijau tinggi. Sampai kepada langit biru tinggi. Sampai kepada pucuk daun lembut tinggi. Sampai kepada aku yang kecil dan terbang. Aku benci kebebasanku. Aku benci kehebatanku. Aku benci orang yang mengagumiku. Aku benci orang yang menerimaku. Aku benci mengapa aku dibiarkan menempuh perjalanan sunyi ini seorang diri.” 


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.