[REVIEW FILM] Ave Maryam – Kisah Cinta Pelayan Tuhan.

AVE MARYAM

Sinopsis: Bersetting di Semarang tahun 1998. Maryam seorang biarawati atau suster Katholik, bertugas sebagai perawat biarawati atau suster lansia. Selain melakukan tugas pelayanan gereja, sehari-hari dia bertugas untuk memasak makanan, mencuci pakaian, memandikan suster lansia, menemani suster-suster lansia ini beraktifitas, dan mengurusi mereka saat sakit. Hingga akhirnya datanglah seorang romo bernama Yosef dengan perawakan menarik dan keahlian dalam bidang musik. Romo Yosef yang menunjukan ketertarikan, disambut baik oleh Suster Maryam. Hubungan terlarang mereka berdua menjadi dilema dan perang batin mendalam terutama bagi Suster Maryam.

Director: Robby Ertanto

Writer: Robby Ertanto

Cast: Maudy Kusnaedi (Suster Maryam), Chicco Jerikho (Romo Yosef), Tutie Kirana (Suster Moniq), Olga Lydia (Suster Mila), Joko Anwar (Romo Martin), Etc.

Published: 11 April 2019

Duration: 01h 13min

Rating: 8.5/10

***



SPOILER ALERT!!!
Saya personal sempat terlibat dalam sebuah komunitas keagamaan yang cukup kuat. Sebagai anggota komunitas, menjaga kekudusan menjadi lebih krusial karena ada banyak “teman” yang turut mengawasi. Komitmen akan panggilan Tuhan terus ditanamkan. Yang menjadikannya lebih berat lagi adalah cara hidup yang diarahkan untuk sedikit “melipir” dari cara hidup dunia pada umumnya.
Dalam kondisi ini, saya merasa cukup tertekan. Hingga akhirnya saya mundur, kembali ke cara hidup yang umum-umum saja. Menjadi manusia beragama yang biasa-biasa saja, tidak terlalu relijius. Terkesan pengecut memang, tapi ya bagimana, hasrat kedagingan jauh lebih kuat.
Menjalankan dan menghidupi panggilan Tuhan memang banyak tantangan yang kerap kali menekan. Sebenarnya tantangan ini ada untuk memurnikan panggilan, tapi kembali lagi, manusia tetaplah manusia. Mau menjaga kekudusan seperti apapun bentuk usahanya, kedagingan masih ada dan hasratnya bisa memberontak untuk dilepaskan kapan saja.
Apalagi Mereka yang terpanggil pada panggilan yang lebih kompleks, selain tanggung jawab yang lebih berat, tantangan dan tekanannya tentu saja akan lebih berat lagi. Kalo tidak kuat menyangkal diri ya bakal tumbang.
Film Ave Maryam berhasil menyampaikan penggambaran yang pas mengenai masalah ini. Dalam agama Katolik, sosok suster dan pastor merupakan sosok pemuka agama yang dianggap suci. Mereka mengambil komitmen untuk melayani Tuhan sepenuhnya, mengucap kaul kekal untuk hidup selibat atau tidak menikah.
Mengacu pada hal tersebut, kisah cinta yang terjadi antara suster dan romo menjadi terlarang. Kisah cinta Suster Maryam dan Romo Yosef menunjukan bahwa sosok yang dianggap suci sekalipun, benteng pertahanan imannya bisa runtuh dan mengingkari komitmen awal mereka.
Ide cerita film ini cukup unik. Film ini berhasil menangkap sisi lain dari kehidupan bergama yang selama ini sama-sama kita ketahui bahwa film religi Indonesia lebih banyak mengambil cerita dari sudut pandang agama Islam. Hadirnya film religi yang mengambil sudut pandang dari agama Katolik, menjadi pembeda yang membuatnya menarik.
Tapi sifat “beda” dan “unik” ini tidak akan ada nilainya jika eksekusinya biasa-biasa saja. Script film ini dibuat dengan cukup baik. Premis cerita yang unik tadi berhasil dituangkan dalam sebuah cerita utuh yang bernilai. Cerita yang mengambil latar agama pun tidak kemudian digunakan sebagai tendensi untuk menggurui. Arah berjalannya cerita terasa lebih manusiawi.
AVE MARYAM 2

Hubungan percintaan Suster Maryam dan Romo Yosef ditampilkan sebagai contoh nyata bahwa manusia dengan gelar atau status―yang dimata masyarakat dianggap―suci sekalipun, bisa jatuh pada dosa. Kisah mereka berdua diceritakan dengan pas. Kita bisa melihat gejolak perasaan cinta orang dewasa. Menggebu, tapi sedikit akward dan agak kaku. Mengingat status mereka sebagai Suster dan Romo, hal itu menjadi terasa cukup masuk akal.
Perjalanan romansa mereka juga tidak ditampilkan terlalu lebay. Penonton diajak untuk melihat usaha mereka berdua bertemu dengan curi-curi waktu, kemudian saat mereka bertemu, hanya ada interaksi dengan gerak tubuh tanpa dialog. Disatu sisi hal ini menjadi tampak indah, tapi di sisi lain, ada penonton yang jadi kurang simpatik dan terikat dengan hubungan romansa mereka.
Ada satu scene yang merekam momen romansa mereka dengan sangat indah, yaitu saat scene mereka makan malam di cafe. Mereka berdua duduk di satu meja, menyantap makanan masing-masing sambil saling memandang. Tak ada kata-kata yang terlontar dari mulut mereka, tapi film yang diputar di cafe tersebut seolah mewakilkan percakapan mereka berdua.
Ada hal yang saya rasa cukup mengganjal. Latar belakang munculnya perasaan Romo Yosef pada Suster Maryam terkesan terlalu tiba-tiba. Klimaks dari hubungan mereka juga terasa kurang kuat presentasinya (kabarnya karena masalah sensor). Esensi tindakan dosa yang membuat Suster Maryam begitu terpukul seakan dilenyapkan. Padahal hal itu sangat dibutuhkan untuk mengikat simpati penonton pada penyesalan Suster Maryam.
Membahas masalah latar belakang cerita, latar belakang cerita dari Suster Moniq juga terasa kurang kuat. Hanya dijelaskan informasi basic saja. Seolah kisah Suster Moniq hanya menjadi tempelan. Padahal seharusnya Suster Moniq bisa lebih melebur dalam alur cerita utama.
Jika ceritanya dibuild up lebih panjang, dengan menguatkan latar belakang dan juga motivasi karakter, mungkin film ini akan lebih sempurna lagi.
AVE MARYAM 1

Film ini dipresentasikan dengan cara yang sunyi. Film ini sangat minim dialog. Robby Ertanto selaku sutradara dan penulis script banyak menggunakan elemen gambar untuk bercerita. Selain itu, banyak juga ditunjukan simbol dan dialog penuh metafora (walaupun kadang terasa agak kaku). Hal inilah yang membuat film ini nuansanya sangat puitis. Bagi beberapa orang mungkin terkesan boring, tapi saya cukup menikmati, bahkan merasa bahwa ini jadi bagian dari keindahan film ini.
Penampakan film ini juga sangat cantik. Penonton benar-benar dikenyangkan dengan banyaknya gambar yang cantik. Tone warnanya kalem, sangat pas merepresentasikan setting waktunya. Sinematografinya juga on point. Kamera tidak melulu bergerak, bahkan kamera banyak mengambil gambar dalam posisi diam. Karena eksekusinya tepat, semuanya menjadi terasa pas dan berhasil menguatkan mood film. Hal ini bisa tercapai dari racikan tangan dingin Ical Tanjung sebagai DOP.
Aktor-aktor di film ini juga menunjukan performa terbaik, terutama Maudy Kusnaedi. Akting Maudy Kusnaedi sangat memukau. Dalam setiap momen, baik saat Suster Maryam merasa bingung, galau, kecewa, dan merasa berdosa, gerak-gerik tubuh dan mimik mukanya berhasil terpresentasi dengan baik. Bagi sebuah film yang minim dialog, hal ini menjadi sangatlah krusial, dan penampilan akting Maudy Kusnaedi sangatlah berhasil.
AVE MARYAM 3

Ave Maryam dengan cara yang indah berhasil menegur kita semua para pemeluk agama untuk tidak menyangsikan elemen manusiawi dalam setiap insan. Semua manusia masih memiliki kedagingan, dalam status suci apapun itu, dosa masih berpotensi untuk bergejolak.
Dengan menjadi manusia yang percaya Tuhan dan beragama, beribadah adalah sebuah bentuk penyangkalan diri sendiri seumur hidup. Membanggakan bentuk ibadah pribadi dan merasa superior dibanding orang lain adalah suatu kekonyolan. Apalagi jika sampai menghakimi orang lain karena ketidaksempurnaan ibadahnya.
Melalui sosok Suster Maryam kita diajak melihat potret manusia dalam diri kita. Menjaga komitmen dalam iman adalah usaha berat yang tak bisa kita usahakan sendiri. Mampu menjaga iman bukan berasal dari perjuangan kita sendiri. Jika berjuang sendiri, iman kita bisa dengan mudah koyak. Melalui doa Suster Maryam, kita belajar memahami posisi diri sebagai manusia, bahwa kekuatan menjaga iman bukan berasal dari diri sendiri, tapi dari Tuhan. (njhoo)


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.