[REVIEW FILM] Mantan Manten – Ikhlas adalah koentji.

mantan manten

Sinopsis: Yasnina tengah berada di puncak karir sebagai manajer investasi. Dalam posisi ini, Yasnina sudah sangat berkecukupan secara ekonomi. Kejatuhan tiba-tiba menimpanya saat Arifin Iskandar, bos sekaligus ayah dari tunangannya, Surya, menjebak dan menjadikannya kambing hitam pada sebuah kasus investasi bodong. Dengan aset terakhir yang dimilikinya―sebuah villa di Tawangmangu yang belum ganti nama―Yasnina merencanakan untuk menggugat balik Arifin Iskandar. Setelah bertemu dengan Budhe Marjanti―pemilik villa sebelumnya―perjalanan hidup Yasnina mulai berubah. Oleh Budhe Marjanti, Yasnina belajar mendalami tentang Paes (rias penganten adat jawa).
Director: Farishad I. Latjuba

Writer: Farishad I. Latjuba & Jenny Jusuf

Cast: Atiqah Hasiholan (Yasnina Putri), Arifin Putra (Surya), Tutie Kirana (Budhe Marjanti), Tio Pakusadewo (Arifin Iskandar), Marthino Lio (Ardy), Oxcerila Paryana (Salma), Dodit Mulyanto (Darto), Etc.

Published: 04 April 2019

Duration: 01h 42min

Rating: 8.0/10

***



SPOILER ALERT!!!
Mengikhlaskan mantan untuk menikah dengan orang lain bukanlah perkara mudah. Tidak semua orang memiliki hati yang cukup besar (atau cukup bodo amat) untuk menerima keadaan semacam ini. Melihat mantan yang―pernah―kita sayang menikah dengan orang selain kita, pasti cukup memporak-porandakan hati.
Menghindar sementara, menjauhkan diri dari update kehidupan mantan sepertinya menjadi salah satu cara menjaga hati yang remuk redam. Sekilas mungkin tampak seperti pengecut, tapi hal tersebut sangat masuk akal untuk dilakukan. Sistem pertahanan diri seseorang umumnya akan memberikan opsi ini sebagai opsi paling menonjol untuk memulihkan kondisi hati dan kestabilan perasaan. Tapi Yasnina ternyata mengambil jalan perih. Jalan penuh luka yang tidak semua orang sanggup ambil. Atas nama komitmen dan dedikasi, Yasnina mampu mempercepat proses dirinya untuk berikhlas.
Ide cerita yang diusung Mantan Manten cukup unik dan segar. Ide dasarnya cukup umum sebenarnya, tentang ditinggal nikah mantan. Tapi tema umum ini kemudian bisa ditarik cukup jauh sampai titik yang lebih kompleks. Ada unsur budaya Paes yang dimasukan. Paes disini pun tidak sekedar menjadi gimmick semata, tapi benar-benar dileburkan dalam cerita.
Bayangkan saja, cerita tentang ditinggal nikah mantan kemudian dileburkan dengan komitmen menjaga budaya Paes. Kompleksitas ini yang membuat film Mantan Manten terasa tidak ecek-ecek secara cerita.
Saya melihat ada dua relasi/ikatan utama yang menjadi tulang punggung film ini. Pertama adalah relasi Yasnina dengan Surya sebagai kekasih (yang nantinya menjadi mantan), dan relasi Yasnina dengan Budhe Marjanti sebagai mentornya dalam dunia Paes.
Relasi Yasnina dan Surya dominan ditampilkan pada babak pertama. Di awal film kita bisa melihat romansa antara pasangan ini, terutama saat Surya melamar Yasnina. Sequence berikutnya, yang menunjukan romansa Yasnina dan Surya adalah saat Yasnina terjebak masalah dan Surya berusaha mendukungnya.
Sayang sekali, chemistry Yasnina dan Surya tampak tak cukup kuat. Relasi mereka sebagai pasangan sangat rapuh. Mungkin karena latar belakang hubungan mereka yang ditunjukan tak cukup mendalam. Penonton seolah dipaksa untuk menerima situasi bahwa mereka terlibat hubungan romansa dan saling mencintai, yang sayangnya kenyataannya tak tergambar seperti itu. Dampaknya, penonton tak memiliki ikatan emosional yang cukup mendalam pada mereka berdua sebagai pasangan.
Selain bermasalah dengan tidak kuatnya pondasi ikatan Yasnina dan Surya, babak pertama film juga terasa begitu berat untuk dicerna. Poin plusnya, pembuat film tidak meremehkan intelegensi penontonnya. Kita dipertunjukan dunia karir Yasnina yang cukup glamor dengan istilah-istilah keuangan dan potongan dialog bahasa Inggris (ala-ala anak Jaksel kalo kata orang). Tapi bagi saya, praktis hal ini membuat sedikit bingung, terutama mengenai konflik antara Yasnina dan Arifin Iskandar.
Masuk babak kedua, disinilah relasi Yasnina dan Budhe Marjanti ditunjukan berikut tradisi Paes nya. Unsur tradisi yang niche ini menjadikan daya tarik tersendiri bagi film ini. Apalagi bagi orang-orang yang tak cukup familiar dengan tradisi ini. Paes dalam film ini menjadi tampak unik dan nge-folk.
Kita diperlihatkan sosok Budhe Marjanti yang sangat berkomitmen dan berdedikasi terhadap Paes. Dia tidak rela jika Paes redup dari dunia, dia berusaha untuk mencari penerus supaya tradisi Paes yang asli tetap terjaga.
Jika saja ilmu Paes bisa dijelaskan lebih banyak dan mendalam, berikut filosofinya, pasti penonton bisa lebih nempel tentang tradisi ini dan pemaknaannya.
Tapi secara keseluruhan, babak kedua ini tereksekusi cukup baik.
Yang membuat saya cukup kagum adalah sequence sureal dalam dunia mimpi Budhe Marjanti dan Yasnina. Hujan bunga melati dan labirin daun sirih tampak sangat indah dan cukup spektakuler. Sequence sureal ini juga bermakna sangat mendalam. Mereka berdua dipertemukan dalam mimpi yang sama. Sebuah pertanda yang semakin meyakinkan Budhe Marjanti bahwa Yasnina adalah penerusnya.
Ada sebuah narasi menarik yang saya perhatikan di babak ini. Selama proses membangun ikatan antara Yasnina dan Budhe Marjanti, ada benturan narasi konservatif dan narasi modern yang terjadi. Adegan ini seolah merekam hal yang nyata terjadi di society. Setiap generasi pasti memiliki nilai yang dipegang, saat keduanya saling mempertahankan nilai, benturan pasti akan terjadi.
Misalnya saat narasi tentang cinta menurut Budhe Marjanti dan Yasnina dibenturkan. Sebagai manusia modern, Yasnina sangat menjunjung tinggi cinta sebagai landasan sebuah hubungan. Tapi sebagai orang yang konservatif, Budhe Marjanti menyampaikan bahwa cinta bisa menjadi nomer sekian. Landasan cinta belum tentu membuat sebuah hubungan bisa menjadi langgeng dan bahagia.
Kemudian keluarlah statement ajaib dari Budhe Marjani.
“Cerita orang itu beda-beda. Jangan memakai pengalaman satu orang untuk membandingkan dengan diri sendiri.”
Mungkin saya terlalu lebay, tapi entah kenapa intuisi saya merespon cukup dalam mengenai perbenturan dua nilai ini. Bahwasanya nilai konservatif pun masih ada yang relevan untuk diterapkan pada zaman ini. Bisa dikembalikan ke individu yang menjalaninya.
Mantan Manten memberikan after taste yang kurang lebih sama dengan Love For Sale. Pedih. Rata-rata, orang yang menonton Mantan Manten akan merayakan bagaimana film ini ditutup.
Mantan Manten memberikan adegan penutupan yang sangat nendang. Perasaan penonton benar-benar diaduk tepat di penghujung film. Melihat Yasnina menahan perih dengan berusaha ikhlas adalah porak poranda yang paripurna.
Disini Yasnina berhasil menunjukan kekuatan batin yang sangat luar biasa. Keikhlasan dititik setinggi itu hanya bisa dia capai saat dia berhasil berdamai dengan dirinya sendiri. Wajarnya hal ini butuh waktu lama, tapi dalam waktu singkat Yasnina berhasil mencapainya.
Karakter Yasnina terjaga konsisten. Sosok tegar dan kuat tetap ada dalam diri Yasnina. Tapi disini kita juga melihat bagaimana pertumbuhan karakter Yasnina yang secara bertahap menerima situasi yang sedang terjadi. Ini adalah pertarungan pribadi yang harus dia hadapi sendiri dan dengan “senjata” yang dia punya, dengan gagah berani dia menghadapi pertarungan itu. Karena hanya itu satu-satunya cara untuk bisa lepas dari beban yang menekannya. Ikhlas yang membuatnya merdeka. Ikhlas yang membuatnya berhasil menyelesaikan apa yang jadi tanggung jawabnya, sebuah tugas suci berhasil dia tuntaskan dengan penuh dedikasi.
Untunglah, babak ketiga film dengan sequence penutupannya itu, berhasil menyelamatkan muka Mantan Manten yang cukup banyak miss dan plot hole. Ending film ini berhasil membuat hati ambyar. Memberikan kesan yang nampaknya akan cukup lama tertinggal.
Akting Atiqa dan Tutie Kirana menjadi kenikmatan lain. Tutie Kirana berhasil membawakan karakter Budhe Marjanti dengan sangat apik. Karakter Budhe Marjanti terasa sangat real dan hidup. Atiqa juga menunjukan kualitas akting yang over the top.
Tatapan mata Atiqa saja bisa membuat saya menangis beberapa kali. Saat Yasnina dengan mata berkaca-kaca menyampaikan pada keluarga besar Surya bahwa mantan suaminya meninggal karena kecelakaan, saat Yasnina menatap Surya sebelum prosesi pernikahan, dan saat Yasnina bertatapan dengan Arifin Iskandar di penghujung prosesi pernikahan. Yah, ini perpaduan antara akting bagus Atiqa dengan perasaan saya yang terlalu mudah tersentuh. Ah dasar lemah.
Secara kemasan promosi, film ini tampil cukup komedik. Tapi kenyataannya, porsi komedi di film ini tidak terlalu banyak. Yang lebih disayangkan, porsi komedi yang sedikit ini juga tak sepenuhnya berjalan dengan baik. Hanya bagian Dodit yang komedinya lumayan bekerja.
Biarpun memiliki cacat disana-sini, Mantan Manten tentu saja jauh dari kata jelek. Film ini masih tetap bernilai. Meski masih gamang, Farishad I. Latjuba sudah cukup menunjukan potensi. Visinema benar-benar berkomitmen dalam menjaga value produksinya. Sangat menantikan kesegaran-kesegaran lain melalui film produksi Visinema. (njhoo)


NB: Sayang sekali, Mantan Manten tidak cukup banyak mendapat kesempatan untuk bertarung di layar bioskop. Baru hari kedua, jumlah layar sudah dipangkas. Per 8 April 2019, jumlah penontonnya baru mencapai 22.840, dengan jumlah layar yang semakin berkurang derastis. Industri film memang seabsurd itu. Karya bagus belum tentu mendapatkan hasil komersil yang bagus juga.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.