[REVIEW BUKU] PHARMACOPHOBIA “AKU INGIN SAKIT GIGI LAGI – AHMAD MUFID.

Pharmacophobia-01

Mufid, Joni, dan Herman berencana kemah tiga hari di gunung Candi Gedong Songo. Namun, baru satu malam, Mufid dan Joni sudah kelimpungan sakit gigi lantaran tak kuat menahan dinginnya suhu 21ᵒ C. Demi sembuh, Joni memeriksakan giginya ke klinik milik teman Herman. Sementara Mufid menolak karena dia menderita Pharmacophobia (Phobia pada obat―takut minum obat). Selain itu Ira, sang dokter gigi sekaligus teman Herman adalah mantan pacar Mufid dan Mufid berusaha menutupi hal ini dihadapan Joni karena dia naksir pada Ira. Karena tidak mau mengakui Pharmacophobianya Mufid harus mengalami masalah dengan Yana―pacarnya. Bagaimana kisah Mufid, Yana, dan teman-temanya?
© Ahmad Mufid
Indie Book Corner, 2015
***
Pertama kali direkomendasikan buku ini oleh seorang kawan sesama member dari komunitas Stand Up Comedy Purworejo. Dia bilang pada saya, “Mufid anak stand up Magelang bikin buku, meh beli gak? Sekalian sama aku. Oia aku juga bentar lagi mau nerbitin buku, beli ya!” Dengan mental “support karya teman”, akhirnya saya membeli buku Pharmacophobia dari mas Mufid ini.
Buku Pharmacophobia ini sangat mengesankan saya saat pertama kali membacanya. Bagaimana tidak, saya membaca buku tulisan teman saya sendiri. Buat saya bukunya menarik, lucu, dan keren.
Gara-gara mas Mufid yang akhirnya berhasil menerbitkan buku ini, saya akhirnya sok-sokan pengen ikut bikin buka juga. Alhasil semuanya kandas dan tak ada jejaknya sama sekali. Semua draft masuk di tong sampah.
Mas Mufid adalah sosok yang sangat saya hormati hingga saat ini. Kita pernah bekerja sama dalam suatu project media online, tapi akhirnya saya harus undur diri karena satu dan dua hal.
Saat ini mas Mufid bersama team barunya tengah mengembangkan media KITAMUDA.com. Silahkan dikunjungi karena artikel-artikelnya sangat menarik. Daripada baca berita hoax dari media abal-abal, mending baca artikel-artikel keren di Kita Muda.
Saya sempat ditegur mas Mufid karena sudah mulai jarang nulis blog, padahal dulu saya cukup aktif sharing link artikel post terbaru ditwitternya.
Akhirnya setelah beberapa tahun berlalu, saya memutuskan untuk membaca buku Pharmacophobia buatan mas Mufid lagi dengan maksud ingin sedikit memberikan review alakadarnya untuk konten blog―yang sudah lapuk tak pernah diupdate. Setelah membaca ulang, ternyata kesan saya agak sedikit menurun dibandingkan saat pertama kali membacanya.
Ya sebenarnya agak takut mau mengkritik. Lha wong nulis buku saja tidak pernah kok sok-sokan mau mengkritik. Tulisan di blog saja tidak pernah dibaca kok sok-sokan pengen menghakimi karya orang. Tapi atas izin yang mulia Mufid selaku penulis buku ini yang merelakan bukunya untuk direview oleh manusia fana―yang tak punya karya―seperti saya, akhirnya saya memberanikan diri untuk menulis review ala kadarnya ini.
Saya sebenarnya bertanya-tanya mengapa kesan saya menurun saat membaca buku ini untuk kedua kalinya. Sewaktu membaca untuk yang pertama kali rasanya begitu menyenangkan, tapi untuk kedua kalinya, rasanya kok biasa saja. Ya kurang lebihnya seperti bercinta, menyenangkan diwaktu memerawani, dan selanjutnya terasa biasa saja.
Prediksi saya mungkin karena semakin banyaknya referensi buku yang saya baca. Selain itu buku-buku yang saya baca termasuk buku-buku maha dasyat kerennya dan cukup banyak mendapat pengakuan. Tidak ada maksud membandingkan dengan karya buku yang lain, hanya saja kesan yang saya bacakan akhirnya terasa biasa karena saya sudah banyak dibuat terkesan  dengan karya-karya luar biasa lainnya.
Cara bertutur mas Mufid di buku ini sungguh sangat saya pahami―karena gaya bertutur saya dalam menulis saat baru saja belajar stand up terasa seperti ini. Gaya melucunya juga sangat saya mengerti polanya. Ingin menunjukan bahwa ini adalah novel komedi, ada dibanyak bagian terkesan memaksakan untuk memasukan puchline. Dulu saya sangat menikmatinya, tapi untuk saya yang sekarang, hal ini terasa berlebihan.
Dialog-dialognya juga seperti kurang dibangun dengan baik. Pondasinya sudah kuat, tapi kok temboknya seperti dibiarkan tanpa lapisan semen. Padahal untuk sebuah novel hal ini adalah senjata untuk menanamkan kesan pembaca pada tokoh yang ditampilkan.
Saya rasa memang cara bertuturnya saja yang belum memuaskan bagi saya. Tapi apalah saya cuma salah satu pembaca yang hina dina. Tapi disamping itu, untuk whole storynya saya sangat sangat menikmatinya. Ide dasarnya cukup simple yaitu tentang persahabatan dan cinta yang dihantam dengan konflik sepele―Sakit gigi.
Ide cerita ini masih saya kagumi. Mas Mufid pintar membangun plot cerita. Berawal dari sakit gigi hingga muncul konflik yang sungguh sangat njlimet, membuat plot menjadi mbulet dan akhirnya bisa diselesaikan dengan cara yang cukup menyenangkan diakhir novel.
Cerita mengalir dengan dinamika dan aliran yang sangat pas. Setelah membacanya, pasti tidak akan mau berhenti ditengah jalan. Mas Mufid memang pandai menggiring pembacanya.
Mas Mufid juga bercerita secara cukup mendetail. Walaupun ada beberapa detail yang mengganggu seperti memasukan alamat lengkap Candi Gedong Songo dengan ketinggiannya. Saya bisa menangkap maksud mas Mufid yang ingin menerangkannya secara detail, tapi kok kesannya malah kaya mas Mufid sedang diendorse oleh pemerintah Semarang untuk mempromosikan Candi Gedong Songo. Tapi dibeberapa bagian, detail-detail yang disampaikan malah menguatkan cerita dan saya cukup menyukainya.
Meski kesan saya agak sedikit menurun, tapi akhirnya saya tetap menyelesaikan novel ini untuk kedua kalinya dengan perasaan bahagia.
Novel ini sangat saya rekomendasikan buat teman-teman yang biasa membaca buku komedi seperti milik Raditya Dika, Shitlicious (Alit Susanto), atau buku komedi yang diterbitkan oleh para Komika Indonesia. Jika kalian bisa menikmati buku-buku semacam itu, kalian tentu akan SANGAT BISA MENIKMATI BUKU INI.
Saya dibuat tidak mau berhenti saat kembali membacanya. Novel ini dibangun dengan sangat apik. Setiap bagiannya memiliki kekuatan yang akan membuat kalian yang membaca tidak ingin berhenti dan ingin terus melanjutkannya hingga tamat.
Entah apakah buku ini masih tersedia di IndieBookCorner atau tidak. Sayang sebenarnya, buku ini hanya diterbitkan secara indie. Jika masuk publisher besar saya yakin mas Mufid sekarang bisa lebih terkenal dan bukunya akan bisa diterima masyarakat luas.
Saya sangat menghormati mas Mufid sebagai mentor menulis saya. Review ini saya buat sebagai bentuk penghormatan atas dirinya dan karya yang telah dia buat. Semoga Mas Mufid bisa kembali menerbitkan buku kedua dengan kualitas yang jauh lebih baik.
Hingga saat ini saya masih terus meningkatkan kapasitas menulis saya supaya bisa semakin baik dan suatu saat bisa menerbitkan buku seperti mas Mufid. Kapan? Ya tunggu saja. Kalo tidak bisa ya sudah tidak apa-apa. Kan tidak semua mimpi bisa diwujudkan. (JA)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.