[REVIEW FILM] THE KILLING OF A SACRED DEER : Perihal Sisi Abu-abu Manusia dan Keadilan.

The Killing Of Sacred Deer

Sinopsis: Setelah kematian ayahnya di meja operasi, Martin (16 tahun) sedikit demi sedikit membangun ikatan mendalam dengan ahli bedah kardiologi, Dr. Steven Murphy. Ikatan ini ditunjukan melalui hadiah mahal dan undangan untuk makan malam, sebagai tanda penerimaan keluarga Steven pada Martin. Semakin lama ikatan ini terbangun, mulai tampak gelagat aneh dari Martin yang dirasakan Steven. Sudah sejak awal, perasaan yang samar nan mengerikan terbayang dalam setiap niatan Martin. Hingga akhirnya Martin menuntut sesuatu atas Steven. Keluarga Steven yang semula baik-baik saja kemudian mulai dihukum untuk menanggung dosa Steven. Membutuhkan sebuah pengorbanan untuk bisa kembali memurnikan keadaan. Untuk menemukan katarsis, pendosa harus mengakui dosanya. Keadilan dituntut dan harus ditegakan.
DirectorYorgos Lanthimos
Writer: Yorgos Lanthimos, Efthymis Filippou
Cast: Colin Farrell (Steven Murphy), Nicole Kidman (Anna Murphy), Barry Keoghan (Martin), Sunny Suljic (Bob Murphy), Raffey Cassidy (Kim Murphy), Bill Camp (Matthew), Alicia Silverstone (Martin’s Mother).
Published: 3 November 2017 (USA) | 3 January 2018.
Rating: 7.2/10
***

“Asu!!!” Itu adalah respon saya setelah selesai menonton film ini. Selain karena ceritanya yang absurd, film ini dimasukan dalam kategori horor. Setau saya, horor itu ya setan-setanan. Lha film ini gak ada setannya sama sekali, bikin misuh “SETAN!” malah iya.
Ketertarikan saya terhadap film ini muncul atas rekomendasi Joko Anwar melalui twitternya. Katanya film ini brilian dan sakit. Setelah menontonnya, saya menyepakatinya.
Sejak film baru dimulai, penonton sudah dibuat merasa tidak nyaman dengan visual proses operasi. Dada yang terbelah dengan jantung di dalamnya yang berdenyut-denyut. Atmosfer semakin dibuat kelam dengan iringan lagu Franz Schubert.
Setelah melakukan riset kecil, sepertinya keabsurdan ini memang menjadi ciri khas sang sutradara. Yorgos Lanthimos adalah seorang sutradara berkebangsaan Yunani yang cukup nyentrik. Aksen kelabu dan absurd selalu dihadirkan dalam film-filmnya.
The Lobster (2015), film pertamanya yang berbahasa Inggris menuai respon positif dengan keabsurdan yang ditampilkan. Kembali melalui The Killing Of Sacred Deer, Yorgos Lanthimos menghadirkan elemen absurd dan kelabu yang bisa terus meneror pikiran penontonnya selepas menikmati film ini.
Latar belakang Yorgos Lanthimos sebagai seorang Yunani sangat mempengaruhi film ini. Film ini sekilas tampak seperti sebuah drama mitologi Yunani kuno dengan kemasan modern.
Tampak dari judulnya “The Killing of Sacred Deer”, sama sekali tak ada sosok pembunuhan rusa dalam film ini, namun judul ini terinspirasi dari sebuah cerita tentang rusa suci milih Dewi Artemis yang dibunuh oleh panglima perang Yunani kuno bernama Agamemnon.
Dengan mengambil ide cerita tersebut, Yorgos Lanthimos menggodok The Killing of Sacred Deer begitu filosofis.
Untuk membayar dosanya tersebut, Agamemnon harus membuat sebuah pengorbanan dengan membunuh anaknya sendiri. Mengorbankan seorang yang tak berdosa untuk menghapus dosanya sendiri.
Film ini sendiri mengisahkan tentang, Steven Murphy, seorang dokter ahli bedah kardiologi yang kerap menemui seorang pemuda berumur 16 tahun bernama Martin. Martin adalah anak dari mantan pasien Steven yang meninggal di meja operasinya.
Steven sekilas memiliki empati yang tampak begitu mendalam pada Martin—atau perhatian untuk menutupi perasaan bersalah. Dia membelikan barang mahal untuk Martin. Dia mengundang Martin untuk bertemu dengan keluarganya.
Oleh istri dan dua anak Steven, Martin begitu diterima. Hingga akhirnya Steven mulai menghindari Martin karena merasa begitu terganggu dengan sikapnya yang berubah semakin obsesif terhadapnya.
Hingga akhirnya kutukan turun atas Steven. Martin menuntut keadilan. Keluarganya yang tak berdosa harus menanggung dosa yang dilakukan Steven. Steven harus membunuh salah satu anggota keluarganya sebagai katalis pemurnian dirinya atas dosa yang pernah dia lakukan.
Steven yang sebelumnya tampak begitu memegang kendali, tiba-tiba harus menerima keadaan yang sama sekali tak bisa dia kendalikan. Dalam kondisi yang begitu tertekan, Steven yang sebelumnya tampak menawan, menunjukan sisi liar dan frustasinya.
The Killing Of Sacred Deer

Dengan mengetahui latar belakang kisahnya, sekilas kita akan mendapat gambaran bahwa Steven adalah Agamemnon dan Martin adalah Artemis. Tapi percayalah, kita tidak bisa serta merta memetakan film ini seperti pikiran kita. Seperti yang Joko Anwar bilang, film ini benar-benar sakit.
Dengan plot yang lambat, arah film benar-benar tak bisa dibaca. Sempat berpikir tentang masalah keretakan rumah tangga akibat affair, namun pikiran itu segera dipatahkan. Arah cerita baru mulai terbaca saat memasuki pertengahan film.
Yang agak unik dari film ini, pengadeganannya dibuat seakan kaku dan dingin. Banyak dialog-dialog dengan bahasan aneh yang menghadirkan kesan awkward. Misalnya obrolan soal bulu ketiak dan limun. Tampak juga obrolan-obrolan yang menunjukan sisi pretensius dari kaum elit suburban—banyak ditunjukan oleh peran-peran orang dewasa.
Bisa dibilang film ini tidak kuat di sisi dialognya. Detail-detail adeganlah yang perlu untuk lebih diperhatikan. Dari sinilah sang sutradara banyak menyisipkan tanda-tanda yang menjadi clue untuk kita memahami maksud film ini.
Tapi dari sejumlah dialog yang kebanyakan aneh, ada beberapa bagian dialog yang juga diselipkan informasi penting untuk kita bisa memahami arah cerita.
Dalam penokohannya, film ini juga begitu abu-abu. Setiap tokoh tidak bisa dipisahkan dalam sisi hitam maupun putih.
Di film ini Colin Farrell, Nicole Kidman, Barry Keoghan sukses memerankan karakter mereka masing-masing. Akting mereka sungguh menawan. Mereka mampu merepresentasikan karakter yang penuh metafora ini dengan baik pada penonton.
Barry Keoghan sangat berhasil memerankan Martin yang begitu dingin, kaku, namun tajam. Diawal Martin tampak seperti laki-laki pengganggu, namun seiring berjalannya cerita kita akan dibawa untuk mengenal sisi lain dari Martin yang lebih kompleks. Diawal mungkin kita akan membencinya, namun seiring berjalannya film, bisa jadi kita akan menaruh simpati juga padanya.
Melalui tokoh Steven yang diperankan Colin Farrell kita juga akan dibawa melihat kenyataan bagaimana begitu kompleksnya psikologi manusia. Dalam level tertentu, manusia seperti playing god. Semua hal harus dituntut sempurna sesuai standarnya. Semua hal tampak berada dalam kendali tangannya. Namun saat sebuah situasi kompleks terjadi dan dia kehilangan kendali penuh, dia akan begitu hancur dan frustasi. Kita dibawa untuk melihat bagaimana sebenarnya manusia itu begitu rapuh.
Metafora yang dihadirkan dalam film ini membuatnya tampak begitu artsy secara cerita. Film ini berhasil menjadi “teror” dalam pikiran penontonnya. After tastenya tidak akan mudah untuk kalian singkirkan dari pikiran. Selamat menonton dan selamat terteror. (JS)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.