[REVIEW FILM] DILAN 1990 : Romansa Anak SMA yang Oversweet.

Film Dilan 1990

Sinopsis: Bandung, 1990, pertemuan pertama Milea—siswi SMA cantik pindahan dari Jakarta—dengan Dilan yang meninggalkan kesan mendalam bagi Milea. Kecantikan Milea membuatnya begitu dicintai banyak lelaki, termasuk Dilan. Namun cara perkenalan dan pendekatan unik yang dilakukan Dilan, membuat Milea yang awalnya risih dengan image brandalan yang dimiliki Dilan, kemudian menyimpan ketertarikan pada Dilan. Perjalanan cinta mereka berdua tak melulu diwarnai hal-hal manis. Nandan, Beni, Anhar, Kang Adi, menjadi figur yang turut nyempil dalam romansa Dilan-Milea. Tapi apapun halangan yang selalu menghadang di depan mata, Dilan selalu bisa meyakinkan Milea bahwa dirinya akan selalu ada menjadi panglima yang melindunginya dan akan terus membuatnya bahagia dengan cara yang tak biasa.
DirectorFajar Bustomi, Pidi Baiq (Co Director)
Writer: Pidi Baiq
Cast: Iqbal Ramadhan (Dilan), Vanesha Prescilla (Milea), Yoriko Angeline (Wati), Zulfa Maharani (Rani), Omara N. Esteghlal (Piyan), Refal Hady (Kang Adi), Giulio Perangkuan (Anhar), Debo Andryos (Nandan), Brandon Salim (Beni). Etc.
Published: 25 Januari 2018.
Rating: 6.5/10
***

Dibalik banyaknya cewek yang menjadi terpesona dan memuji romantisme seorang Dilan, disitu terdapat banyak cowok yang bilang Dilan itu BANGSAT karena menaikan standar cewek-cewek—yang tentu saja gak ada tai-tainya dibanding Milea—terhadap seorang cowok.
“Kalo PDKT, kaya Dilan donk. Romantis, tapi gak kampungan.”
Buat cewek-cewek, please! Tuntutan jadi laki-laki mapan ajah udah cukup nguras tenaga, jangan nambahin beban kami buat jadi kaya Dilan. Berat itu, biar Dilan aja udah yang kaya gitu.
Diadaptasinya novel Dilan 1990 menjadi sebuah film, benar-benar menjadi teror buat kami para cowok—atau mungkin lebih tepatnya saya. Sosok Dilan yang sebelumnya hanya dikenal oleh kalangan yang hobi baca, akan dikenal lebih luas oleh kalangan yang punya duit buat nonton film di bioskop.
Bayangkan berapa banyak cewek yang akan terobsesi pada sosok Dilan kemudian. Menuntut semua cowok yang pdkt ke dirinya, menyerupai cara PDKT Dilan. Bayangkan berapa banyak kesempatan yang sebelumnya bisa kami kejar, kemudian pupus di tengah jalan karena standar tinggi yang semakin tak bisa kami raih mulai diterapkan oleh banyak cewek. Ironis kapten.
Sebagai pembaca novel Dilan 1990, saya termasuk dalam kalangan yang agak kecewa dengan keputusan untuk mengadaptasi novel ini menjadi film. Selain karena alasan yang sudah saya jelaskan diatas, saya juga tidak cukup yakin adaptasinya bisa berhasil.
Membawa sosok Dilan dan Milea ke layar lebar sepertinya bukan perkara mudah. Memenuhi ekspektasi penonton yang sudah pernah membaca novelnya bisa jadi perkara tak mudah lainnya.
Saat diumumkannya sosok Vanesha yang akan memerankan Milea, semua penikmat novelnya masih merasa oke-oke saja. Imutnya Vanesha udah paripurna banget lah. Benar-benar memenuhi imajinasi terhadap sosok Milea.
Yang kemudian menjadi sebuah kekhawatiran adalah sosok Iqbal yang dipilih untuk memerankan Dilan. Imagenya sebagai mantan personel sebuah boyband dirasa kurang cocok untuk memerankan Dilan yang badass sebagai panglima tempur sebuah geng motor.
Setelah trailer keluar, ekspektasi semakin menurun. Dialog-dialog manis yang dilontarkan Dilan jadi terasa norak. Sejak saat itu, saya sudah bersiap diri untuk menonton filmnya dengan tujuan untuk ngata-ngatain aja.
Tapi setelah saya menontonnya, ekspektasi saya benar-benar dipatahkan. Filmnya ternyata cukup asik buat jadi tontonan.
Sosok Iqbal yang awalnya tampak tidak meyakinkan, ternyata benar-benar tampil menawan. Sosok Dilan terefleksikan dengan baik melalui akting Iqbal. Iqbal terasa begitu pas memerankan Dilan si anak motor yang keras, tapi juga romantis, dan manis.
Gerak gerik Iqbal terlihat luwes saat memerankan Dilan. Saat adegan berantem dan marah pun, Iqbal yang terlihat cute itu juga bisa tampil trengginas. Sepertinya saya harus minta maaf karena meragukan akting Iqbal.
Vanesha sebagai Milea juga cukup memenuhi ekspektasi. Secara fisik sudah masyhuk, secara akting juga lumayanlah. Sosok Milea yang polos, tegas, dan lovable juga bisa diperankan dengan baik oleh Vanesha.
Chemistry yang dibangun antara Vanesha dan Iqbal juga sangat kuat. Melihat romansa yang mereka berdua bangun sebagai sosok Dilan dan Milea benar-benar menghangatkan.
Film Dilan 1990 2

Tapi bagaimanapun juga, tak ada gading yang tak retak. Meski akting mereka secara keseluruhan terasa cukup oke, tapi tiap kali adegan tertawa, saya merasa pembawaan mereka tampak tak natural.
Tertawa yang awkward jika pas dengan konteksnya, masih dimaklumilah. Di dunia nyatapun kita kerap tertawa palsu dan terkesan awkward. Tapi hampir di semua adegan tertawa, terlihat begitu dibuat-buat. Jadinya terasa aneh.
Ada beberapa adegan yang melibatkan peran pembantu yang juga terlihat aneh. Misalnya obrolan Milea dan bundanya Dilan. Seperti ada pemaksaan harus mirip dengan apa yang tertulis dalam novel. Jadinya terlihat begitu aneh.
Kemiripan dengan novelnya yang begitu identik, memang jadi poin plus. Buat penikmat novel, yang kemudian menonton filmnya, juga pasti adalah kesenangan tersendiri.
Tapi seharusnya tak semua adegan dan dialog harus dipaksakan sesuai dengan apa yang tertulis di novel juga. Karena memang ada hal yang terasa jauh lebih pas untuk dibaca, bukan untuk ditonton. Penyesuaian dengan kebutuhan film tetap harus ada donk.
Pembangunan karakter juga masih terasa nanggung. Buat orang yang tidak membaca novelnya tentu akan mengalami kebingungan tentang latar belakang dan motif dari setiap karakter. Disini saya diuntungkan karena membaca novelnya. Tapi saat memutuskan mengangkat novel ini ke layar lebar, seharusnya pertimbangan bahwa penonton tidak seluruhnya berasal dari penikmat novel harus dipikirkan juga kan.
Plot ceritanya persis seperti di novel. Di ceritakan melalui sudut pandang Milea. Ditampilkan sosok Milea dewasa yang mengetik di laptop menceritakan kisah cinta masa SMA nya.
Dan entah kenapa, saya baru menyadari setelah menontonnya dalam bentuk film, bahwa kisah cinta Dilan-Milea ini sebenarnya gak spesial-spesial amat. Okelah, cara Dilan menunjukan rasa cintanya pada Milea memang spesial, tapi bagaimana kisah cinta mereka berdua dibangun dan berjalan itu biasa aja.
Seorang cowok bad boy yang jatuh cinta pada cewek tercantik di sekolah. Karena kebetulan cowok bad boy itu aslinya baik, dan romantis, akhirnya si cewek jatuh cinta juga. Karena sudah saling jatuh cinta, yasudah mereka jadian.
Konflik diluar hubungan mereka seperti, kecemburuan Dilan pada Milea karena cowok-cowok yang mengejar Milea, kecemburuan Milea pada Dilan yang sempat jalan bareng sama cewek lain, kekhawatiran Milea pada Dilan yang mau tawuran, perkelahian Dilan buat ngebela Milea, akhirnya cuma jadi hiasan sebuah hubungan yang sebenarnya biasa aja.
Selama film diputar, semua orang seakan terdistraksi pada romantisme—cenderung ke gombalan—yang ditunjukan Dilan, kemudian absen mengakui bahwa kisah cinta Dilan-Milea ini sebenarnya dibangun dan berjalan monoton. Romansa Dilan-Milea ini terasa tak punya poin.
Saya jauh lebih puas dengan kisah cinta Lala dan Yudis di film Posesif. Bagaimana mereka jatuh cinta, motif-motif dibalik setiap hal yang mereka lakukan juga punya latar belakang yang jelas dan terpahami dengan baik. Bagaimana kisah cinta mereka berjalan juga dibangun dengan baik.
Secara teknis film ini juga agak mengecewakan. Banyak sekali pergerakan camera yang goyang dan membuat pusing—terlebih saat adegan berkelahi. Banyak juga gambar yang bocor. Misalnya seperti mobil modern dan banner sebuah provider, yang tentu saja sangat tidak masuk akal jika hal itu ada di tahun 1990.
Usaha untuk membawa nuansa 1990 ke film ini tampak dari kendaraan-kendaraan vintage yang lalu lalang. Tapi sayangnya nuansa 1990 nya tak terasa real karena tone warnanya yang kurang vintage. Dandanan Siswi SMA di sekolah Dilan dan Milea juga masih mencerminkan dandanan kekinian.
Secara keseluruhan, film ini cukup menyenangkan sebagai sebuah hiburan. Ya, tonton dan nikmati saja sebagai sebuah hiburan. Ceritanya sungguh hangat dan lucu—tanpa perlu menghadirkan sosok comic.
Selain romantisme yang diumbar oleh Dilan yang membuat cewek-cewek klepek-klepek, tokoh-tokoh yang memerankan Milea, Wati, Irene, dan tentu saja Disa, menjadi pemandangan yang menyenangkan juga buat mata cowok-cowok. (JA)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.