[REVIEW FILM] SUSAH SINYAL : Butuh Tower Untuk Terhubung.

Susah Sinyal

Sinopsis: Ellen, seorang single mother yang sangat sibuk dengan pekerjaannya sebagai pengacara. Karena kesibukannya, Ellen memiliki hubungan yang renggang dengan Kiara, anak semata wayangnya. Kiara malah lebih dekat dengan Oma Agatha. Sayangnya Oma Agatha harus menutup usia. Kondisi ini memaksa Ellen dan Kiara harus hidup berdua dan memperbaiki hubungan mereka.
Liburan ke Sumba menjadi usaha Ellen untuk mendekatkan diri pada Kiara. Di Sumba yang susah sinyal memaksa mereka berdua untuk sejenak meniggalkan dunia mereka (dalam smartphone) dan merajut kembali hubungan satu sama lain. Sayangnya hubungan yang sudah lebih baik saat liburan ke Sumba akhirnya harus mengalami keretakan lagi saat Ellen dan Kiara sudah kembali ke Jakarta. Bagaimana usaha Ellen dan Kiara memperbaiki sinyal yang lama tak saling terhubung?
DirectorErnest Prakasa
Writer: Ernest Prakasa & Meira Anastasia
Cast: Adinia Wirasti (Ellen Tirtoatmodjo), Aurora Ribero (Kiara), Ernest Prakasa (Iwan), Oma Agatha (Niniek L. Karim), Asri Welas (Tante Maya), Yos (Abdur Arsyad), Melki (Ari Kriting), Abe (Rafael Hady), Saodah (Aci Resti), Ngatno (Dodit Mulyanto), Aji (Darius Sinathrya), etc.
Published: 21 Desember 2017
Rating: 7.0/10
***

Sepertinya tidak berlebihan jika menyebut Ernest Prakasa sebagai komika yang prestasinya di dunia film paling menonjol. Belum ada rekannya sesama komika yang berhasil menyamai pencapaian yang sudah didapatnya.
Bahkan Raditya Dika yang notabene adalah “guru” bagi Ernest, belum bisa menjangkau prestasi yang sudah diraih Ernest. Beberapa penghargaan sudah dibawa pulang oleh Ernest dengan dua filmnya (Ngenest & Cek Toko Sebelah). Sedangkan Radit? mungkin jumlah penonton. Tidak bisa dipungkiri, jumlah alay pengikut Radit memang naudzubilah banyaknya. Apapun film yang dibuat Radit bakal disantap. Tak heran jika hampir semua film Radit mendapatkan Box Office. Tapi kalau soal kualitas tunggu dulu.
Cek Toko Sebelah (CTS) yang merupakan karya kedua dari Ernest, berhasil masuk beberapa nominasi hingga menyabet beberapa penghargaan. Bahkan oleh JAFF (Jogja Asia Film Festival), Ernest di daulat sebagai sutradara terbaik. Hal ini rasanya cukup membuktikan kapasitas Ernest sebagai movie maker.
Pencapaian ini sungguh membanggakan. Tapi disamping itu, hal ini tentu saja menjadi beban tersendiri bagi Ernest. Dengan seluruh penghargaan yang di dapat CTS, ekspektasi penonton terhadap film ketiganya tentu sudah dibuat melambung tinggi.
Susah Sinyal adalah film ketiga Ernest yang mana dirinya berusaha keluar dari zona nyaman yang selama ini telah digelutinya. Jika di dua film sebelumnya Ernest banyak mengeksploitasi ke-cina-an, di film ini ke-cina-an tak begitu di tonjolkan. Hanya digunakan sebagai gimmick comedy saja.
Susah sinyal 3

Susah Sinyal di fokuskan pada hubungan antara Ellen, seorang single mother dan juga pengacara yang sibuk dengan Kiara, anaknya. Karena Ellen yang begitu sibuk, Kiara akhirnya lebih dekat dengan Omanya. Namun hal tersebut malah menjadi sebuah petaka ketika sang Oma kemudian meninggal.
Kiara hanya mengakui sang Oma sebagai satu-satunya keluarga yang dia percaya. Hanya Omanya yang selama ini dengan begitu telaten mengurus dan menemaninya. Ellen, ibunya sendiri, lebih banyak menghabiskan waktu dengan pekerjaannya. Ellen bahkan tampak begitu canggung saat harus menjalin komunikasi dengan Kiara.
Atas saran guru BP Kiara, Ellen kemudian mengajak Kiara berlibur ke Sumba untuk memperbaiki hubungan mereka yang selama ini renggang. Sumba ternyata lokasi yang susah sinyal, seperti hubungan Ellen dan Kiara.
Masalah yang diangkat pada film Susah Sinyal sebenarnya adalah masalah yang sangat umum. Perihal orangtua yang sibuk berkarir dan mengorbankan hubungan dengan anaknya.
Karena begitu umum terjadi, besar kemungkinan tema yang diangkat dalam film Susah Sinyal ini bisa lebih mudah untuk terhubung dengan penonton. Tapi bisa jadi, hal ini kemudian menjadi pisau bermata dua. Karena terlalu umum, akhirnya kisahnya menjadi tampak biasa.
Benar saja, saya merasa konfliknya kurang begitu kompleks. Tensi dari konfliknya juga seperti kurang ngangkat. Di bagian tengah, tensi konflik bahkan sempat dibuat mereda. Agak berbeda dengan CTS yang dari awal film, konflik dibangun terus menanjak, jadi saat sudah sampai puncak, terasa begitu membabi buta klimaksnya.
Tapi bukan berarti cerita film ini buruk. Flow ceritanya cukup asik untuk diikuti. Bagaimana Ernest mengemas ceritanya juga cukup menarik. Seorang single mother, berprofesi sebagai lawyer, sedang merintis firma hukumnya sendiri. Sedangkan sang anak adalah remaja 17 tahun yang berbakat, bahkan sudah bisa mendapatkan uang sendiri dari aktifitas dunia maya. Digambarkan keduanya sudah nyaman dengan dunianya sendiri sehingga kerenggangan dalam hubungan mereka terjadi.
Hubungan yang renggang antara ibu dan anak digambarkan seperti sinyal yang susah terhubung. Selain secara nyata susah sinyal ini terjadi di Sumba, hal ini juga merepresentasikan hubungan Ellen dan Kiara yang sulit terhubung. Filosofinya sungguh mengena.
Yang membuat Saya begitu kagum adalah pembangunan karakter Kiara dan Ellen. Adinia Wirasti dan Aurora Ribero bisa menghidupkan karakter Ellen dan Kiara dengan apik. Sebuah apresiasi juga bagi Aurora Ribero, karena ini merupakan debut pertamanya di film.
Ernest dan Meira sebagai penulis naskah juga memberikan latar belakang yang kuat untuk menghadirkan 2 tokoh utama yang karakternya juga kuat.
Ellen yang workholic dan sedikit lupa dengan anaknya dibentuk karena latar belakangnya yang pernah mengalami kegagalan pernikahan. Dia juga tenggelam dengan kesibukan kerja karena dirinya tengah merintis firma hukum baru miliknya.
Kiara yang judes pada ibunya terbentuk karena ibunya tidak memberikan perhatian intens padanya. Kiara yang berbakat bahkan sudah bisa mencari uang sendiri dengan aktifitas dunia maya, hal ini semakin menguatkan karakter Kiara yang begitu judes pada ibunya.
Sifat keduanya yang sama-sama keras juga menunjukan hubungan darah yang dimiliki keduanya, yang mana sifat keras Kiara tampak diturunkan dari Ellen. Bahkan perbedaan “ras” antara Ellen dan Kiara juga dijelaskan alasannya.
Intinya, Ernest dan Meira selaku penulis script benar-benar menghadirkan cerita yang real. Semuanya terasa make sense. Penonton juga tidak dibodohi.
Susah sinyal 2

Karakter-karakter yang dihadirkan untuk menunjang bagian komedi juga berhasil menghidupkan tawa penonton. Duet antara Iwan-ibunya dan Yos-Melki, sepertinya menjadi pondasi komedi di film ini. Hampir tiap kali sosok-sosok ini muncul, penonton pasti sudah bersiap-siap untuk tertawa. Tapi eksplorasi komedi juga dihadirkan di tokoh-tokoh penunjang lain seperti Ngatno, sekumpulan wartawan, dan Yusril yang bisa akting tanpa dialog, tapi bisa begitu lucu.
Jika kebanyakan penonton menyukai duet Yos-Melki, secara pribadi saya lebih menyukai scene saat debat oleh sekumpulan wartawan. Rispo benar-benar ultimate lucunya.
Tapi sayangnya Saya melihat adanya ketidakseimbangan antara porsi komedi dan dramanya. Bagian komedi yang berhasil kebanyakan adalah bagian sketsa yang tampak berada diluar narasi utama. Porsi komedinya terasa njomplang yang kemudian mengaburkan dramanya. Fokus kepada tokoh utamanya juga seperti diambil alih oleh tokoh-tokoh yang menghadirkan komedi.
Beberapa tokoh juga ada yang kurang dieksplorasi lebih dalam. Misalnya seperti Aji dan Abe yang terasa sekilas berlalu begitu saja. Padahal jika 2 tokoh ini dieksplorasi lebih mendalam, bisa jadi kedua tokoh ini akan semakin menguatkan cerita.
Sulit memang untuk tidak membandingkan Susah Sinyal dengan CTS. Tapi bagaimanapun karya ketiga dari Ernest ini patut mendapat apresiasi.
Berkurangnya porsi Ernest sebagai aktor (tidak menjadi aktor utama) juga menunjukan pendewasaan pada diri Ernest. Dia benar-benar mengejar naskah ideal dan menekan kenarsisannya.
Mungkin Susah Sinyal bukan film terbaik Ernest. Bagi saya CTS masih menjadi buah karya terbaik Ernest. Tapi Susah Sinyal tetaplah film bagus yang layak untuk di tonton. Film bertema keluarga ini begitu hangat. Komedinya juga sangat menghibur.
Pemandangan Sumba yang indah juga tampilkan dengan pas. Semua gambar indah disesuaikan dengan pengadeganan. Beauty shoot-nya tidak mubadzir. Intinya semua pas dan tidak berlebihan.
Kalian juga akan dimanjakan dengan soundtrack-soundtrack yang oke punya. Seperti yang sudah-sudah, disetiap filmya Ernest benar-benar detail hingga ke soundtracknya. Soundtracknya benar-benar dibuat ngeblend dengan filmnya. Bisa masuk dengan pas. (Sayang sekali Man Upon The Hill cuma nyelip sedikit)
Pesannya yang ingin disampaikan film ini juga sangat mendalam. Mengkritisi orang-orang masa kini yang tenggelam dengan kesibukannya sendiri hingga lupa dengan hal yang paling berharga yang mereka punya, yaitu keluarga.
Meski saya kira film ini akan sulit untuk menyamai kesuksesan CTS, tapi harusnya sih film ini layak untuk mendapatkan Box Office(JA)
PS : Jangan langsung keluar setelah film selesai. Credit titlenya juara parah.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.