[REVIEW FILM] MARLINA PEMBUNUH DALAM 4 BABAK : Potret Wanita yang Mencari Keadilan.

Film-Marlina-Pembunuh-Dalam-Empat-Babak

Sinopsis: Marlina, seorang janda yang tinggal sendirian ditemani mumi suaminya. Rumahnya disambangi perampok (sekitar 7 orang) yang ingin merampok semua harta Marlina dan juga ingin memperkosanya. Sebagai upaya membela diri, akhirnya Marlina membunuh para perampok tadi. Tak puas hanya dengan membunuh para perampok tadi, Marlina berusaha mencari keadilan kepada aparat penegak hukum. Bagaimana liku perjalanan Marlina dalam mencari keadilan?
Director: Mouly Surya.
Writer: Rama Adi, Garin Nugroho.
Cast: Marsha Timothy (Marlina), Dea Panendra (Novi), Egy Fedly (Markus), Yoga Pratama (Franz), Haydar Salishz (Niko), dll.
Published: 16 November 2017.
***

Akhir tahun 2017 ini perfilman Indonesia seperti sedang dipenuhi euforia. Ada banyak film-film keren yang rilis untuk memanjakan para penonton. Di tengah gempuran film-film superhero luar, nyatanya film lokal berkualitas tetap tak kehilangan minat.
Film-film lokal berkualitas yang akhir-akhir ini keluar sepertinya tak puas hanya sekedar menghibur dengan estetika gambar dan plot cerita. Ada muatan sosial yang ditanamkan dalam film sebagai bahan perenungan setelah selesai menonton.
Setelah Pengabdi Setan yang mengangkat masalah kemandulan dan film Posesif yang menyoroti masalah toxic relationship, yang paling baru dan tengah menjadi perbincangan adalah film Marlina Pembunuh Dalam Empat Babak.
Sejak trailernya dirilis, rasa penasaran sudah tertimbun. Landscape indah Sumba dengan adegan berdarah semakin menambah hasrat untuk segera menontonnya. Apalagi kabarnya film ini sudah malang melintang di berbagai festival film luar negeri. Banyaknya sambutan positif dari publik film luar negeri membuat ekspektasi untuk film ini sangatlah tinggi.
Marlina Pembunuh Dalam Empat Babak menceritakan nasib sial seorang janda bernama Marlina yang tinggal sendirian di pedalaman Sumba. Seorang laki-laki datang ke pondokan yang ditinggali Marlina untuk mengabarkan rencana perampokannya bersama teman-temannya (kira-kira ada 7 orang).
Tak ingin tinggal diam, Marlina melakukan perlawanan. Empat orang dia bunuh dengan racun di sup ayam buatannya, dan satu orang lagi—bernama Markus—dia penggal kepalanya dengan parang. Yang dua orang lagi, pergi membawa hasil rampokan ternak dari rumah Marlina.
Tak puas hanya dengan membunuh mereka, Marlina berusaha mencari keadilan ke polisi. Dari sinilah dimulai perjalanan Marlina untuk mencari keadilan.
Film ini seperti ingin menonjolkan kekuatan wanita. Balutan konsep feminisme sangat kentara. Semua karakter wanita ditunjukan sebagai alfa female. Namun sang sutradara, Mouly Surya, melalui film ini mengangkat isu feminisme dengan keadaan yang agak berbeda. Selama ini kita mengenal bahwa para feminis adalah wanita-wanita kelas menengah atas dengan pendidikan tinggi. Namun disini Mouly menunjukan bahwa wanita tak berpendidikan dengan kondisi kemiskinan pun memiliki daya juang untuk melawan.
Menolak dijadikan obyek semata, Marlina menunjukan bahwa dia sebagai wanita bisa menjadi pahlawan untuk dirinya sendiri. Marlina menggunakan caranya sendiri untuk bisa lepas dari jerat laki-laki yang menterornya.
Penghargaan-film-marlina

Dengan latar Sumba, Marlina Pembunuh Dalam Empat Babak jadi tampak seperti film western ala-ala koboi.  Genrenya satay western katanya.
Kuda, parang dan padang gersang yang menjadi ikon dalam film ini semakin menekannya konsep westernnya. Bedanya jika film-film western sangatlah maskulin, film ini dikonsep sangatlah feminim. Selain itu, film ini tidak menghadirkan aksi yang membludak. Lebih banyak momen kesunyian. Film ini lebih menyoroti perjalanan kontemplasi Marlina dalam menghadapi resiko atas sikapnya sebagai wanita yang berani melawan sistem dan berusaha mencari keadilan.
Untuk yang terbiasa menonton film aksi dengan pace yang cepat dengan adegan aksi berlimpah, mungkin akan merasa sedikit bosan dengan film ini. Tapi jika mau masuk ke kedalaman cerita, justru di momen-momen kesunyian inilah unsur keindahan itu keluar.
Di sela-sela karakter Marlina yang tenang, Mouly juga menghadirkan sosok Novi dengan karakter berlawanan. Melalui karakter Novi inilah Mouly menghadirkan selipan-selipan dark comedy yang membuat film ini terasa lebih segar.
Feminisme dalam detail kecil juga ditunjukan Mouly Surya saat Marlina dan Novi mengobrol sambil pipis di semak-semak, membicarakan laki-laki. Di barat, sangat banyak film yang menunjukan adegan laki-laki membicarakan wanita di toilet sambil pipis bersebelahan, dan ini dianggap wajar. Melalui adegan pipis Marlina dan Novi, Mouly Surya ingin mendobrak kebiasaan ini dan sepertinya ingin menghadirkan kewajaran yang baru—wanita juga bisa membicarakan laki-laki sambil pipis bersebelahan.
Melalui film ini, Marlina kemudian hadir menjadi sebuah simbol perlawanan bagi para wanita. Di Indonesia—secara umum—yang menerapkan sistem patriarki, wanita kerap kali diperlakukan tak adil. Contohnya dalam kasus pemerkosaan—seperti yang dikisahkan dalam film ini—, saat mencari keadilan, pihak wanita sebagai korban yang harusnya mendapatkan perlindungan malah diintimidasi dan dipersalahkan. (Saya jadi mengingat konsep viktimologi dalam buku RE: karya Maman Suherman)
Wanita memiliki hak hidup sama seperti laki-laki. Wanita bukanlah obyek yang bisa diperlakukan dengan semena-mena. Seperti apapun bentuk pakaiannya, apapun profesinya, bagaimanapun kondisinya, pelecehan terhadap wanita seharusnya tetap tidak bisa dibenarkan.
Melalui sosok Marlina inilah, kemudian memberi inspirasi pada wanita untuk berani melawan ketakutannya sendiri dan tidak mau menyerah dalam kondisi ketidakberdayaannya. Karena hak perlu untuk diperjuangkan.
Sebagai film, Marlina Pembunuh Dalam Empat Babak tidak hanya kuat dalam muatan yang ingin disampaikan. Sebagai sebuah karya seni, film ini menghadirkan estetika yang luar biasa.
Pengambilan gambar dengan teknik wide shoot berhasil mengeksploitasi keindahan alam Sumba dengan sangat pas untuk kebutuhan film. Mata benar-benar sangat dimanjakan. Penonton benar-benar kenyang dengan santapan visual yang diatur oleh Yunus Pasolang sang pengarah sinematografi.
Saya, secara personal sangat suka saat adegan Marlina mandi di tepi danau. Secara visual benar-benar memukau. Siluet dan pantulan cahaya di air benar-benar estetik.
Musik latar di film ini juga sangat pas dalam membangun mood perjalanan kontemplasi Marlina. Ada saat dimana suasana begitu tenang tanpa suara musik. Begitu musik masuk, suasana kemudian pecah. Penempatan musik latarnya sangatlah proporsional—benar-benar ditempatkan di tempat yang tepat. Lagu Luzuardi yang dinyanyikan oleh Cholil ERK juga menjadi penutup film yang sangatlah mengagumkan.

Akting Marsha Timothy sebagai Marlina juga patut diacungi jempol. Marsha berhasil merealisasikan karakter Marlina yang tangguh tapi rapuh, diliputi rasa bersalah tapi tidak depresif, dengan benar-benar pas. Tak heran jika Marsha Timothy berhasil menyabet aktris terbaik Sitges Film Festival.
Meski berhasil memukau banyak orang, bukan berarti film ini tanpa cacat. Ada beberapa plot hole yang saya notice—mungkin oleh beberapa penonton juga. Misalnya darimana Marlina mendapatkan peti untuk menyimpan kepala Marcus dan darimana bahan sup ayam di akhir film jika semua ternak sudah dibawa perampok.
Tapi bagaimanapun, Marlina adalah film yang sangat layak untuk ditonton. Meski ada beberapa orang yang mengatakan bahwa film ini overrated, tapi menurut saya segala macam pujian yang diberikan pada film ini benar-benar layak. Ini masalah selera saja. Meski memiliki cacat kecil, kalian tetap akan dipuaskan dengan visual yang mengagumkan, cerita sederhana yang memukau dan juga masalah untuk dipikirkan setelah menontonnya.
Marlina adalah sebuah karya sinema yang luar biasa. Ini merupakan film yang penting. Sepertinya film ini akan tetap menjadi bahan pembicaraan di masa mendatang dan mungkin setelah ini akan semakin banyak kaum feminis yang menunjukkan diri. (JA)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.