[REVIEW FILM] COCO : Harta yang Paling Berharga Adalah Keluarga.

film-animasi-coco

Sinopsis: Miguel, seorang anak berumur 12 tahun memiliki mimpi menjadi seorang musisi. Sayangnya impian itu terbentur dengan aturan dari nenek moyangnya yang melarang seluruh anggota keluarganya bersentuhan dengan musik. Karena tekad yang bulat untuk mengejar mimpinya, Miguel terpaksa harus mencuri gitar milik Ernesto de la Cruz yang malah membawanya melintasi dunia orang mati. Di dunia orang mati inilah Miguel memulai petualangannya yang akhirnya mengungkapkan banyak rahasia soal sejarah keluarga Miguel yang sebenarnya. Bagaimanakah petualangan Miguel untuk mendapatkan restu dan mengungkap rahasia keluarganya?
DirectorLee Unkrich, Adrian Molina (co-director)
Writer: Lee Unkrich (original story by), Jason Katz (original story by), Adrian Molina, Matthew Aldrich.
Cast: Anthony Gonzalez (Miguel), Gael García Bernal (Hector), Benjamin Bratt (Ernesto de la Cruz), Alanna Ubach (Mamá Imelda), Ana Ofelia Murguía (Mama Coco), Jaime Camil (Papa), Sofía Espinosa (Mama), etc.
Published: 21 November 2017.
Rating: 8.9/10
***

Memadukan perihal “mimpi” dan “ikatan keluarga” pada sebuah film animasi, rasanya adalah sebuah resep yang paling ampuh untuk memporakporandakan hati para penonton. Film Coco adalah salah satu film yang berhasil mengolah resep tadi menjadi sebuah sajian yang amat sangat menyentuh hati.
Film Coco berpusat pada petualangan Miguel dalam mendapatkan restu keluarga besarnya untuk bisa mengejar mimpi menjadi musisi. Petualangan Miguel membawanya sampai melintas ke dunia orang mati.
Bersama Hector—salah satu orang mati yang ditemuinya—Miguel berpetualang mencari restu kakek buyutnya yang merupakan musisi supaya dia bisa kembali ke dunia asalnya dan bisa tetap mengejar mimpinya menjadi musisi sekembalinya.
Setting utama dari film ini memang ada di dunia orang mati saat perayaan Dia de los muertos (The day of the Death—tradisi Mexico). Dalam perayaan ini diceritakan seluruh orang mati bisa melintas ke dunia orang hidup dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.
Awalnya Miguel tidak peduli dengan ritual mengenang keluarga di perayaan Dia de los muertos ini. Terlebih keluarganyalah yang jadi penghalang atas mimpinya—menjadi musisi. Sampai akhirnya Miguel melintas ke dunia orang mati dan mendapati mereka yang mulai dilupakan keluarganya benar-benar sirna.
Film Coco mengangkat tema ringan tapi sangat esensial. Tema keluarga yang diangkat tak sebatas masalah yang remeh temeh. Perkara generation gap turut disoroti disini. Untuk mempertahankan nilai yang dihidupi generasi terdahulu, terkadang mimpi anak dari generasi terkini harus dikorbankan.
Apa yang diingini anak dari generasi terkini kadang tak dimengerti oleh generasi terdahulu. Dengan modal sebagai generasi terdahulu—yang merasa lebih tau karena lebih dulu ada—akhirnya mereka memaksakan kehendak mereka.
Di film ini, Miguel dilarang bersentuhan dengan musik karena kakek buyutnya meninggalkan keluarganya demi menjalani karir sebagai musisi. Hingga akhirnya nenek buyutnya memulai bisnis pembuatan sepatu yang kemudian dijalankan secara turun temurun.
Sebenarnya garis hidup Miguel sudah dituliskan oleh leluhurnya. Saat dewasa nanti Miguel—seharusnya—akan menjadi pengrajin sepatu. Tapi sepertinya Miguel menjadi anomali di keluarga ini. Bakat yang diturunkan dari kakek buyutnya tidak bisa disangkal, dan dia benar-benar memegang kuat mimpinya.
Apa yang dialami Miguel banyak juga dialami anak-anak muda kehidupan nyata. Misalnya seorang anak yang dipaksa menjadi PNS karena keluarganya—secara turun temurun—sudah menjadi PNS. Saat si anak menyampaikan mimpinya—misalnyna—ingin menjadi Komikus pada keluarganya, seringnya hampir seluruh anggota keluarga akan mengecam.
“Kamu mau makan apa dari komik.”
“Jadi komikus gak bisa dapet pensiun.”
“Title komikus susah buat naklukin hati calon mertua.”
Dan masih banyak lagi contoh kecaman-kecaman lain.
Mimpi sang anak dipertaruhkan disini. Ada yang akhirnya bertahan dengan sedikit menentang aturan keluarganya, namun ada juga yang kemudian menyerah karena ingin tetap dalam zona aman.
film-animasi-coco-2

Pixar benar-benar handal dalam membuat film animasi yang mampu mengkoyak-koyak hati. Resep kuno soal mimpi dan keluarga benar-benar berhasil diformulasikan dengan baik oleh Pixar menjadi sajian yang baru di film Coco.
Saat masih SMA, saya pernah dibuat menangis oleh Toy Story 3 karena ikatan keluarga yang begitu besar antara Andy dan mainan-mainannya, dan kini 7 tahun berselang, Pixar masih handal membuat air mata menetes melalui film Coco.
Sebagai film dengan kategori bagi semua umur, plot cerita dari film ini dibuat bersahabat juga bagi anak-anak. Ceritanya dibuat cukup sederhana. Tidak terlalu kompleks.
Misalnya mekanisme orang mati yang bisa melintas ke dunia nyata diceritakan menggunakan scanner wajah. Jika ada foto dari orang mati tersebut di dunia nyata, maka orang mati itu bisa melintas ke dunia nyata. Dengan penggambaran yang sederhana tersebut, rasanya anak-anak jadi lebih mudah paham dengan filmnya.
Ada sedikit twist juga di bagian akhir yang sepertinya ingin diberikan sebagai efek kejutan.
Tapi meskipun memiliki plot cerita yang sederhana, teknis animasi dari film Coco ini benar-beanar keren. Pixar memang selalu all out dalam menggarap film-filmnya. Setiap detail karakter, world building dan motionnya (gerakannya) benar-benar diperhatikan. Semuanya tampak detail dan mewah.
Seperti detail karakter mama Coco dengan keriputnya dan gerakan tangan Miguel saat memainkan gitar, terlihat sangat presisi dan nyata.
World buildingnya juga ditampilkan begitu menawan. Pembentukan dunia orang matinya sangat luar biasa. Dunia nyata—tempat Miguel dan keluarganya hidup—juga dibentuk sedemikian rupa menyerupai pemukiman di Mexico dengan kemiripan yang sangat identik dengan pemukiman di Mexico yang asli (yang ada dalam bayangan saya).
Soundtrack dari film ini juga sangat apik. Lagu “Un Poco Loco” yang bergairah dan Remember Me yang mengguncang hati, ibarat toping yang menambah kenikmatan dari sajian film Coco.
(Dibagian akhir, saat Miguel menyanyikan Remember Me dalam tempo lambat dengan gitarnya untuk Mama Coco, disitu semua emosi jiwa yang sudah terkumpul sepanjang film akan diluapkan. Di titik ini air mata saya keluar.)
Menonton Coco seperti mendapatkan paket lengkap dimana saya mendapatkan gambar yang apik, cerita petualangan yang seru, penggalian emosi yang sangat menyentuh, dan juga pesan moral yang mendalam.
Seperti yang di sampaikan oleh mas Agus Mulyadi melalui twitnya.
“Habis nonton film Coco, dan mendapatkan pesan moral yang dalam : ngirim yasin sama tahlil buat keluarga yang sudah mati itu penting. Film ini menjadi bukti bahwa Pixar secara implisit menunjukan jati dirinya sebagai studio yang condong ke NU. Ia memberikan gambaran yang penting betapa berharganya ziarah kubur.” (Twit oleh @AgusMagelangan – 5 Des 2017). (JS)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.