[REVIEW FILM] MIRAI: Memahami Esensi Menjadi Kakak.

Mirai No Mirai | narasifiksi

Sinopsis: Kun, seorang bocah laki-laki berumur 4 tahun sangat cemburu pada adik barunya―Mirai―yang cukup menyita perhatian orang tuanya. Dalam perjuangannya menerima keberadaan Mirai, hal magis terjadi. Kun dibawa melintasi waktu dan bertemu dengan sosok-sosok di keluarganya dari berbagai masa. Dari merekalah Kun belajar memahami prespektif baru dan esensi dari menjadi seorang kakak.

Director: Mamoru Hosoda

Writer: Mamoru Hosoda

Voice Cast: Kun (Moka Kamishiraishi), Mirai (Haru Kuroki; Kaede Hondo-baby), Otōsan/The father (Gen Hoshino), Okāsan/The mother (Kumiko Aso), Nazo no Otoko/Mysterious man (Mitsuo Yoshihara), Bāba/The grandmother (Yoshiko Miyazaki (Japanese); Jiiji/The grandfather (Koji Yakusho), Seinen/The great-grandfather (Masaharu Fukuyama)

Published: 20 July 2018 (JPN) | 29 November 2018 (USA)

Duration: 1h 38min

Rating: 8.0/10

***



SPOILER ALERT!!!
Salah satu hal yang membuat film menjadi sangat menarik adalah adanya unsur relatibility. Film sebagai sebuah hiburan memang mempunyai keleluasaan untuk menghadirkan sebuah tontonan yang imajinatif. Tapi saat unsur imajinatif ini bisa beriringan hadir bersama unsur relatibility tadi dan dikemas secara apik, film tersebut akan memiliki kekuatan lebih daripada sekedar tontonan yang menghibur.
Mamoru Hosoda adalah salah satu sutradara film animasi yang cukup berhasil mengolah formula ini dan mempresentasikannya dalam film Mirai. Film ini berjalan melalui sudut pandang tokoh utamanya yaitu Kun, bocah berusia 4 tahun yang masih polos. Dia menghadapi situasi dimana adiknya yang baru lahir menyita perhatian kedua orang tuanya. Cemburu sangat wajar dia rasakan. Keluarga yang selama ini dia kuasai sendiri, harus dia bagi perhatiannya dengan orang lain yang tiba-tiba hadir.
Layaknya bocah seusianya, Kun kerap rewel dan berbuat nakal untuk menarik perhatian orang tuanya. Melihat hal ini, saya seakan dibawa pada nostalgia semasa adik pertama saya baru lahir.
Kita juga bisa melihat bagaimana potret keluarga muda dalam sosok ayah dan ibu Kun. Sesaat setelah Mirai lahir, mereka sudah dibingungkan dengan pembagian tugas rumah tangga. Pembagian peran, siapa yang harus stay dirumah dan bekerja di kantor. Kegalauan ayah yang berusaha membangun ikatan emosional dengan anak bayinya. Kebingungan menghadapi bayi yang sering menangis, dan kakaknya yang rewel minta diperhatikan. Meski saya belum berkeluarga, saya bisa melihat hal-hal tadi memang banyak terjadi di keluarga muda.
Hal inilah yang membuat film ini terasa spesial. Cerita tentang kecemburuan Kun dan bagaimana strugglingnya orang tua Kun tampak begitu dekat dan real. Film ini tidak sekedar merekam kejadian dan menunjukannya pada penonton. Film ini seperti membangun sebuah kejadian, kemudian penonton diajak masuk untuk turut serta merasakan kejadian tersebut.
Untuk membuat film ini sedikit lebih megah, unsur imaji digunakan untuk membalut cerita. Kita akan melihat Kun dibawa dalam sebuah perjalanan menyusuri waktu untuk bertemu dan berinteraksi dengan anggota keluarganya dari berbagai masa.
Mirai No Mirai

Dengan membawa unsur perjalanan melintasi waktu, plot cerita dari Mirai berjalan tidak lurus. Kita seperti dihadapkan dengan beberapa fragmen perjalanan Kun yang melintasi waktu. Dia bertemu adiknya di masa depan yang sudah menjadi remaja, dia dibawa ke masa lalu untuk bertemu ibunya semasa kanak-kanak, dia juga dibawa ke masa yang jauh dibelakang untuk bertemu kakek buyutnya. Beberapa fragmen ini kemudian dijahit dalam satu plot yang rapi.
Plot yang berfokus pada perjuangan memahami esensi keluarga yang coba untuk dipahami oleh Kun.
Meskipun menghadirkan elemen imajinasi, film ini masih tetap terkesan domestik. Semua perjalanan Kun berpusat di halaman rumahnya. Setiap kali selesai dalam satu fragmen perjalanan, Kun akan kembali kerumahnya kemudian beberapa adegan akan terjadi diseputaran rumahnya. Hal ini adalah bukti bagaimana briliannya Mamoru Hosoda dalam mengemas sebuah cerita. Hal yang sekilas terlihat sangat sederhana, dan sangat domestik, bisa disajikan begitu megah dan indah.
Tak hanya ceritanya yang relate, hangat, dan indah, visual dari film Mirai juga sangat mempesona. Desain dunianya sangat bagus dan mendetail. Gestur dari tokoh-tokohnya juga terlihat sangat natural. Gerak-gerik tiap-tiap tokoh terasa begitu otentik menyerupai manusia sebenarnya.
Film Mirai ini melanjutkan tren positif dari karya-karya Mamoru Hosoda sebelumnya seperti Summer Wars (2009), Wolf Children (2012), dan Wolf Children (2012). Visual yang menarik disertai cerita yang kuat membuat karya-karya Mamoru Hosada memiliki value. Bahkan Mirai masuk dalam nominasi Best Animated Feature di Academy Awards atau Oscar ke 91 tahun 2019.
Nuansa hangat sepertinya menjadi ciri khas dari Mamoru Hosoda. Seperti Mirai, tiga karya Mamoru Hosoda sebelumnya juga cukup kuat menghadirkan nuansa kehangatan. Benang merah ceritanya ada di “relasi keluarga”.
Dari film-film Mamoru Hosoda kita seakan diajak untuk berkontemplasi mendalami lagi value keluarga dalam hidup kita. Ikatan yang terjalin dalam anggota keluarga tidak seperti ikatan-ikatan sosial lainnya. Ikatan dalam keluarga lebih kuat dan lebih spesial.
Mirai No Mirai

Kenyataannya, keluarga memang tidak selalu berjalan dengan baik-baik saja. Tapi bagaimana usaha kita mempertahankan dan memperjuangkannya adalah bahan bakar untuk tetap menjaga ikatan itu tetap kuat. Setiap anggota keluarga pasti pernah melakukan kesalahan, pasti pernah mengendurkan ikatan, maka dari itu dibutuhkan evalusi secara terus menerus.
Meski film animasi, tampaknya secara tema, film ini lebih cocok ditonton oleh orang dewasa. Untuk anak-anak mungkin bisa sedikit belajar dari tokoh Kun, dan perjalanannya memahami posisi sebagai kakak. Tapi secara gambaran besar, film ini lebih cocok bagi orang dewasa. Film ini selain sebagai bahan nostalgia, juga merupakan representasi yang cukup dekat mengenai dinamika keluarga muda bagi yang ingin segera mencoba membangun rumah tagga. (njhoo)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.