[REVIEW FILM] FOXTROT SIX – Indonesia Dalam Dunia Distopia.

POSTER REVIEW FILM FOXTROT SIX | NARASI FIKSI

Sinopsis:
Masa depan kacau. Bumi megalami over populated. Krisis pangan menjadi masalah seluruh negara-negara di dunia. Pangan menjadi komoditas paling berharga. Sebagai negara berlatar belakang agraria, Indonesia menjadi salah satu penopang kebutuhan pangan dunia, menjadi penguasa pasar pangan dunia. Adanya elit politik―dari partai PIRANAS―yang mengeruk keuntungan pribadi dari krisis ini, mendorong munculnya kelompok pemberontak yang ingin memperjuangkan kesejahteraan masyarakat. Disinilah terjadi pertarungan antara kelompok pemberontak melawan pemerintahan yang korup.

Director: Randy Korompis     

Writer: Randy Korompis
Cast: Oka Antara (Angga), Julie Estelle (Sari Nirmala), Chicco Jerikho (Spec), Verdi Solaiman (Oggi), Arifin Putra (Tino), Rio Dewanto (Bara), Mike Lewis (Ethan), Edward Akbar (Wisnu), Willem Bevers (President Barona), Miller Khan (Indra), Etc.

Published : 20 Februari 2019

Duration: 1h 54min

Rating: 7.0/10

***



SPOILER ALERT!!!
Sejak konsep film ini diperkenalkan ke publik, hingga trailernya keluar, Foxtrot Six sudah cukup membuat saya antusias untuk mengeksekusinya di bioskop. Konsep distopia yang diusung film ini menjadi sebuah terobosan baru. Film Indonesia saat ini sedang butuh lebih banyak varian supaya tidak seragam, dan munculnya Foxtrot Six menjadi harapan baru untuk lebih banyak muncul film-film lain dengan konsep yang lebih unik.
Film ini bersetting di Indonesia tahun 2031. Dalam kacaunya dunia yang mengalami krisis pangan, Indonesia mampu bertahan karena tanahnya masih mampu untuk menumbuhkan sumber pangan. Sayangnya, Partai PIRANAS yang menjadi partai penguasa saat itu, memonopoli stok pangan nasional, menjualnya ke luar negeri, dan mengeruk keuntungan untuk kantong pribadi.
Tentu saja peningkatan perekonomian terjadi di Indonesia, tapi hal ini hanya menguntungkan golongan kelas atas dan elit penguasa. Masyarakat kelas bawah akhirnya menjadi korban. Di negeri yang menopang komoditas pangan dunia, ironisnya masyarakatnya masih tetap kelaparan.
Melihat ketimpangan ini, dan semakin banyaknya kesengsaraan yang harus dirasakan masyarakat kelas bawah, lahirlah kelompok pemberontak bernama “Reform”. Kelompok ini berdiri di sisi rakyat. Mereka memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat. Kelompok ini aktif melakukan propaganda, menghimpun dukungan dari masyarakat kelas bawah, berusaha menjatuhkan rezim Piranas yang korup.
Reform dianggap sebagai kanker yang membahayakan rezim Piranas yang sudah lama bercokol di pemerintahan. Untuk melawan hal ini, Piranas menjalankan propaganda yang menjatuhkan nama Reform dengan tujuan akhir pembantaian massal simpatisan Reform.
Tokoh utama di film ini adalah Angga. Angga adalah mantan anggota Marinir yang ambisius mengejar kekayaan, hingga akhirnya dia mendapatkan posisi sebagai anggota dewan berkat Piranas. Dalam misi memperbaiki citra Piranas, Angga diculik Reform yang kemudian mempertemukannya dengan Sari, kekasih dari masa lalu yang disangkanya sudah mati.

Poster Foxtrot Six | Tim Gerram
Pasukan Gerram dibawah komando Wisnu

Angga yang awalnya ada di pihak pemerintah, kemudian beralih haluan membela Reform. Apalagi setelah mengetahui rencana pembantaian yang akan dilakukan oleh tim Gerram. Sayang sekali, motivasi perubahan haluannya dibingkai terlalu ke arah drama, sehingga seolah-olah Angga berubah haluan hanya karena Sari.
Padahal dibalik itu, Angga sudah melihat sendiri kenyataan nelangsanya masyarakat dibawah rezim Piranas dan dia menentang rencana pembantaian yang akan dijalankan tim Gerram. Bingkai drama yang terlalu dominan inilah yang menurut saya membuat motivasi Angga menjadi terkesan remeh.
Apalagi hubungan percintaan Angga dan Sari tampak kurang kuat secara emosional. Bahkan hubungan mereka terkesan sekedar sebagai bumbu pemanis  di sela brutalnya pertunjukan action.
Film ini rasanya juga bergerak cukup buru-buru. Banyak hal-hal penting yang akhirnya malah skip untuk dijelaskan. Posisi Reform sebagai kelompok pemberontok juga terasa kurang digali. Apalagi baru di awal film, banyak pejuang dan simpatisan Reform yang dibantai.
Tersisa anggota Foxtrot Six yang diceritakan melanjutkan perjuangan yang sudah dimulai Reform. Tapi karena eksplorasi pada Reform yang masih dangkal, perjuangan anggota Foxtrot Six seolah-olah cuma untuk memenuhi kebutuhan cerita. Tidak ada transfer “nilai perjuangan” yang dibangun  Reform, kepada anggota Foxtrot Six.
Penonton cuma diberi informasi bahwa pemerintah dibawah Piranas itu jahat dan perlu dihentikan. Reform yang memulai perjuangan sudah tak mampu melanjutkan, jadi hanya anggota Foxtrot Six yang bisa melanjutkan―karena merekalah tokoh utamanya. Hal ini terasa terlalu basic, kurang kuat.
Hubungan awal antar anggota Foxtrot Six juga cuma dijelaskan sekilas. Penonton cuma ditunjukan proses rekrutmen yang dilakukan Angga. Ikatan mereka dimasa lalu hanya dijelaskan sekilas dalam narasi dialog. Berdampak pada ikatan hubungan mereka yang terasa ringkih. Saya sebagai penonton akhirnya jadi kurang bisa bersimpati.
Karakterisasi pada diri Sari saya rasa juga terlalu dangkal. Peran Sari disini adalah sebagai pemimpin kelompok Reform. Peran itu cukup besar sebenarnya. Tapi entah kenapa, porsi eksplorasinya rasanya terlalu sedikit. Bahkan saya merasa, value dari karakter Sari tidak lebih dari sekedar cecintaannya Angga.
Bukan berarti aktor-aktor kenamaan di film ini tidak bermain baik. Mereka menunjukan kualitas akting yang cukup baik. Cuma sayang saja script-nya kurang kuat dalam mengeksplorasi kedalaman tokoh
Poster HD Foxtrot Six | narasifiksi.com

Tapi tidak bisa dipungkiri, action yang dihadirkan di film ini adalah pertunjukan utama yang cukup memuaskan. Dari pertengahan hingga akhir, secara intens penonton dimanjakan dengan pertarungan yang proper.
Koreografi di film ini terlihat rapi dan cukup brutal―walaupun belum seepik The Raid dan sebrutal The Night Comes for Us. Hanya ada beberapa adegan aksi―yang melibatkan banyak orang―masih terlalu tampak menunggu untuk dihajar. Tapi hal ini akhirnya hanya menjadi cacat minor bagi persembahan keseluruhan adegan aksinya.
Desain artistik di film ini juga cukup menarik. Ada beberapa pameran senjata-senjata perang yang unik. Teknologi seperti layar digital juga tampak rapih dalam balutan CGI.
CGI yang mendukung film ini juga masih oke, tidak membuat sakit mata. Memang belum sehalus produksi Hollywood, tapi sudah cukup lumayan untuk skala produksi Indonesia. Penggunaannya juga pas, sesuai porsi. Hal-hal yang masih bisa ditampilkan menggunakan visual biasa, tidak dipaksakan menggunakan CGI.
Shot-shotnya juga cukup memanjakan mata. Gambar-gambar yang ditampilkan cukup meyakinkan setting distopianya. Yang agak terasa kurang, untuk penggambaran suasana kerusuhan, sekedar ditampilkan footage-footage demo kerusuhan di dunia seperti yang banyak bisa kita temui di internet. Hal lain yang agak mengganggu juga adalah munculnya ojek online di setting dunia ini. (Masih bisa saya maklumi, Gojek adalah salah satu sponsor besar di film ini. Terima kasih Gojek)
Film ini menggunakan full bahasa Inggris. Bahasa Inggrisnya cukup nyaman di telinga, tidak terdengar aneh. Walaupun alasan penggunaan bahasa Inggris di film ini masih menjadi tanda tanya buat saya. Jika memang ingin menyasar audience dari luar, sebenarnya masih bisa menggunakan subtitle. Toh nyatanya The Raid menggunakan bahasa Indonesia dan masih bisa diterima oleh audience luar dengan subtitle.
Foxtrot Six memang cukup berambisi. Tampak ada upaya untuk mengejar Hollywood―meskipun sama-sama kita tau, gapnya masih terlalu besar. Budget 70 Miliar sampai dihabiskan untuk memproduksi film ini. Nama Mario Kassar yang sudah senior sebagai produser film Hollywood digandeng sebagai executif produser di film ini.
Foxtrot Six adalah sebuah terobosan yang patut diapresiasi. Film ini memang belum tersaji sempurna. Banyak hal yang seharusnya bisa dieksekusi dengan lebih baik. Tapi saya tetap menikmati film ini. Foxtrot Six cukup menghibur dan cukup berhasil membuat saya bergairah dengan suntikan adrenalin dari setiap adegan action. Sebagai karya pertama, hal ini menjadi jejak langkah awal yang positif bagi Randy Korompis.
Kabarnya, akan ada kelanjutan dari film Foxtrot Six. Jika benar demikian, saya berharap akan ada peningkatan kualitas. Ada harapan besar yang saya gantungkan pada film ini. Semoga film ini menginspirasi sineas lain untuk berani menggali lebih dalam potensi cerita-cerita dan konsep-konsep lain diluar yang sudah banyak wara-wiri beredar. (njhoo)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.