[REVIEW FILM] SWING KIDS: Tap Dance di Tanah Perang.

Swing Kids Head

Sinopsis: Setelah melihat propaganda Korea Utara tentang kebahagiaan para tahanan perang di kamp mereka, pemimpin kamp tahanan perang Amerika Serikat di Geoje, Korea Selatan meminta Sersan Jackson untuk membuat kelompok Tap Dance dengan anggota para tahanan. Sebuah pertunjukan yang akan dihadiri wartawan perang, disiapkan. Hal ini untuk menandingi propaganda milik Korea Utara. Bersama Roh Ki-soo yang terobsesi dengan tarian, Yang Pan Rae perempuan penerjemah yang ingin mengumpulkan uang, Xiao Fang yang ingin menguruskan badan, dan Kang Byung-sam yang ingin menemukan istrinya, Jackson berusaha mempersiapkan pertunjukan terbaik untuk bisa mendapatkan tiket ke Jepang dan menemui kekasihnya. Ada begitu banyak realita yang menekan mereka. Tapi setiap harapan masing-masing dari mereka masih terus digantungkan pada tarian. 

Director : Hyeong-Cheol Kang

Writer : Hyeong-Cheol Kang

Cast : Kyung-soo Do (Roh Gi-soo), Hye-soo Park (Yang Pan-rae), Jared Grimes (Jackson), Jeong-se Oh (Kang Byung-sam), Kim Min-ho (Xiao Fang), Ross Kettle, Brigadier General Roberts Etc.

Published : 09 January 2019 (IND)

Duration: 2h 13min

Rating: 8.0/10

***


Swing Kids adalah film Korea kedua yang saya niatkan untuk menonton di bioskop, setelah sebelumnya menonton Along With The God: The Two Worlds. Banyaknya rekomendasi dari beberapa akun film―yang satu selera―di twitter, membuat saya penasaran dengan film ini.
Saya mempersiapkan diri dalam penasaran paling maksimal. Tidak membaca sinopsisnya, tidak membaca reviewnya, bahkan saya sama sekali tidak menjamah trailernya. Saya mau merasa terkejut pada ceritanya secara optimal.
Benar saja, cerita dari film ini mengobrak-abrik perasaan saya. Dalam bioskop saya dibuat tegang, sedih, tertawa, dan terkesima. Sepanjang film saya dibuat orgasme secara membabi buta.
Pada dasarnya premis dari film ini cukup sederhana, mengenai kelompok tari yang setiap anggotanya menggantungkan harapan pada tarian. Premis semacam ini biasa kita temui di film-film bertema dance seperti Step Up misalnya. Menggantungkan mimpi pada tari namun harus bertarung dengan realita yang menghalangi.
Karena berlatar pada masyarakat yang sudah cukup modern, film-film bertema dance seperti Step Up ini kemudian hanya mampu menghadirkan potensi konflik standar, misalnya masalah keluarga, cinta, atau persahabatan dalam level dramatis yang biasa-biasa saja. Tapi Swing Kids dibuat pada latar yang cukup unik.
Cerita Swing Kids berlatar pada masa perang Korea di tahun 1950an. Di bagian awal film, latar belakang cerita lebih dulu dijelaskan dalam sebuah narasi singkat mengenai sejarah perang Korea―antara Korut dan Korsel, berserta keterlibatan sekutu AS dan sekutu komunis (Cina & Uni Soviet)―hingga terbentuknya kamp tahanan perang di utara dan di selatan (daerah Geoje, dikelola oleh AS) yang menjadi latar tempat film.
Dengan latar ini, konflik cerita pada film Swing Kids bisa dibangun lebih kompleks. Dengan konflik yang lebih kompleks, premis umum tadi bisa menjadi sebuah sajian cerita yang bisa lebih megah. Latar cerita pada masa perang juga memberikan potensi konflik yang jauh lebih dramatis lagi.
Swing Kids 2

Value dari filmnya juga bisa ditarik lebih luas lagi, tidak sekedar tentang memperjuangkan mimpi. Tentang seni yang mampu menembus batas perbedaan turut disampaikan disini. Perbedaan ras dan bahasa pada kelompok Tap Dance ini nyatanya mampu dipersatukan melalui seni, melalui tarian.
Adegan Xiao Fang dan Kang Byung-sam yang berkomunikasi dengan tarian mereka juga seperti menunjukan bahwa ternyata seni―tarian khususnya―memiliki bahasanya sendiri. Bahasa yang bisa saling dimengerti oleh pelakunya, meski mereka memiliki bahasa lisan yang berbeda.
Value yang lebih mendalam lagi, film ini juga secara terang-terangan menyampaikan kritik pada perang dan perselisihan karena ideologi. Ideologi sebagai sesuatu yang absurd (tidak terlihat), yang harapannya saat dihidupi bisa memberikan kesejahteraan dan rasa aman, nyatanya malah banyak memakan korban. Usaha membela ideologi pada akhirnya terasa konyol dan tak masuk akal. Hal itu malah mengorbankan banyak orang, menyakiti banyak keluarga, dan membunuh banyak mimpi.
Ajaibnya, dalam latar perang yang lebih berpotensi untuk menghadirkan aksi menegangkan dan tragedi yang menyedihkan, Hyeong-Cheol Kang dengan jelinya juga turut meletakan momen-momen comedic yang menyenangkan. Banyak adegan-adegan lucu yang dihadirkan. Hal ini membuat film terasa lebih menyegarkan dan melengkapi experience penonton.
Bagian komedi banyak dimunculkan pada awal hingga pertengahan film. Tapi pada pertengahan ke belakang dan mendekati bagian akhir, terjadi perubahan plot yang cukup derastis.  Drama politik ditampilkan lebih dominan. Ada aksi-aksi dipertunjukan dan menaikan ketegangan cerita. Adegan dramanya juga mulai banyak menunjukan tragedi yang semakin memicu keluarnya air mata.
Perubahan plot yang cukup signifikan ini disayangkan oleh beberapa orang. Tempo cerita seakan tidak stabil. Atmosfer film juga mengalami perubahan yang terlalu derastis. Terlebih banyaknya konflik yang hadir dari luar koflik tokoh utama membuat film terasa tidak fokus dan terlalu bertele-tele.
Pada dasarnya hal ini masih cukup bisa saya toleransi. Hal yang lebih menganggu saya sebenarnya adalah beberapa adegan yang terasa artificial. Adegan-adegan tersebut memang cukup menghibur saat berdiri sendiri, tapi agak menganggu saat dijahit dalam rangkaian plot cerita. Adegan-adegan artificial ini seakan memang khusus dibuat sebagai pengantar momen komedi. Tapi karena film ini dibangun bukan dengan fondasi sebagai “film komedi” hal tersebut malah membuat sedikit kecacatan.
Tapi bagaimanapun itu, film ini adalah sebuah pencapaian yang sangat layak mendapatkan apresiasi lebih. Menggabungkan unsur drama politik, perang, dan tarian dalam sebuah cerita film yang utuh dengan presentasi yang menarik bukanlah perkara mudah (kabarnya, film ini merupakan adaptasi dari sebuah pertunjukan musikal Korea berjudul Rho Ki-Soo). Terlebih lagi jika melihat eksekusinya. Penonton benar-benar dimanjakan secara maksimal baik dari sisi cerita maupun visualnya.
Swing Kids 1

Desain produksinya tampak otentik. Mulai dari kostum, make up, dan desain produksi secara keseluruhan tampak menguatkan nuansa lawas tahun 1950an yang menjadi latar cerita. Shot-shot kamera yang mengambil adegan Tap Dance juga mampu mengoptimalkan keindahan setiap gerakan tari. Hal ini semakin meningkatkan experience penonton dalam menikmati Tap Dance yang menjadi akar cerita di film ini. Musik swing sebagai pengiring untuk tiap-tiap adegan menarinya juga semakin menguatkan nuansa dan menaikan adrenalin penonton.
Akting dari tiap-tiap aktor juga tidak bisa dianggap remeh. Setiap aktor mampu memainkan perannya masing-masing dengan optimal dan menghidupkan tokohnya secara utuh. Dengan performa mereka yang luar biasa, penonton bahkan bisa merasa terikat pada tokohnya hingga akhirnya merasakan klimaks pada adegan di ending film.
Sebuah pengalaman yang menyenangkan bisa menonton film ini di bioskop. Saya mengesampingkan ejekan kawan-kawan yang mengetahui saya menonton film Korea sendirian di bioskop. Film bagus memang layak mendapat apresiasi.
Swing Kids adalah sebuah sajian yang komplit, ada lucu, ada sedih, ada tegang, dan kagum (terutama tiap kali melihat adegan Tap Dance). Value yang dibawa oleh film ini juga memberikan after taste yang sangat nikmat. Swing Kids semakin menyadarkan saya bahwasanya kebebasan/kemerdekaan adalah sebuah hal yang patut diperjuangkan. Menarilah dan bebaslah. (JA)


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.