[REVIEW FILM] GREEN BOOK: Road Trip Menyusuri Tanah Rasis.

greenbook_poster

Sinopsis: Tony "Lip" Vallelonga, seorang berdarah Italia membutuhkan pekerjaan pengganti sementara karena klub malam yang menjadi tempat kerjanya ditutup untuk renovasi. Muncul sebuah tawaran menjanjikan dari  Don Shirley, seorang pianis klasik yang membutuhkan sopir untuk tur konsernya ke beberapa negara bagian Amerika di wilayah selatan. Meskipun kurang bersemangat karena harus memiliki bos seorang pria kulit hitam, karena tawaran yang cukup menjanjikan, Tony akhirnya menerima pekerjaan tersebut. Mereka berdua kemudian menempuh perjalanan tur yang panjang dengan drama segregasi rasial Amerika yang pada masa itu (tahun 1962) masih sangat kental.

Director : Peter Farrelly

Writer: Nick Vallelonga, Brian Hayes Currie, Peter Farrelly.

Cast : Viggo Mortensen (Tony Lip), Mahershala Ali (Dr. Don Shirley), Linda Cardellini (Dolores), Sebastian Maniscalco (Johnny Venere), Dimiter D. Marinov (Oleg), Mike Hatton (George), Etc.

Published : 30 January 2019 (IND) | 16 November 2018 (USA)

Duration: 2h 10min

Rating: 8.8/10

***



Saya percaya bahwa tujuan film yang paling mendasar adalah memberikan tontonan yang menghibur. Untuk bisa menghibur seharusnya tidak melulu menggunakan konsep megah dengan budget besar. Konsep sederhana sekalipun tetap bisa menghibur jika dieksekusi dengan baik.
Film Green Book arahan Peter Farrelly berhasil membuktikan hal ini, terutama bagi saya. Menggunakan kemasan buddy road trip yang rawan membosankan, Green Book nyatanya terasa begitu menyenangkan untuk ditonton. Elemen komedi yang dihadirkan juga cukup menyegarkan. Jenis komedi yang digunakan cukup elegan. Agak berbeda dengan film-film Farelly sebelumnya yang lebih banyak menggunakan kekonyolan sebagai bahan untuk menghasilkan tawa, pada film ini titik tawa ditempatkan pada situasiya (situasinya yang dibuat komedik). Karenanya, banyak yang menyatakan bahwa komedi dalam film ini sangat cerdas. Pengemasan drama menyentuh dan komedi yang menyegarkan dengan pas, membuat durasi panjang filmya terasa tidak jadi membosankan.

Sepanjang film juga tersebar beberapa “momen” yang mampu menjaga kesinambungan dinamika cerita. Sehingga, saat menonton, mood penonton tetap terjaga, dan atensinya bisa terikat dari awal sampai akhir.
greenbook_poster

Membawa isu berat mengenai segregasi rasial, nyatanya tak membuat film ini terasa preachy. Penonton tidak dijejali dengan pesan moral secara semena-mena. Penonton seolah dibawa masuk dalam sebuah pengalaman menyaksikan langsung potret pemisahan hak antara kulit putih dan kulit hitam di AS pada masa pemerintahan Jim Crow.
Legalitas hukum yang merestui diskriminasi pada kelompok kulit hitam menempatkan orang-orang kulit hitam dalam keadaan yang selalu tertekan dan ketakutan. Tidak hanya hak yang tak terpenuhi dan diskriminasi yang direstui, keberadaan orang-orang kulit hitam bahkan dianggap sebagai sebuah kejijikan.
Melalui diri Don Shirley, kita juga dibawa melihat bagaimana stereotipe yang sudah begitu mengakar seakan sudah membunuh elemen personal. Bisa dilihat saat begitu banyak stereotipe yang dialamatkan pada orang kulit hitam nyatanya tidak ada dalam diri Don.
Ya, Don adalah seorang kulit hitam, tapi tidak semua hal yang umum dilakukan dan umum disukai orang-orang kulit hitam juga dia lakukan dan sukai. Don hanya ingin menjadi dirinya sendiri dengan tetap menjunjung tinggi martabatnya sebagai manusia.
Ada penggalan lirik dari lagu Bingung milik Iksan Sekuter berbunyi, “Sepertinya, menjadi manusia adalah masalah buat manusia.” Pernyataan ini rasanya cukup pas jika dikaitkan dengan konteks segregasi rasial yang diangkat dalam film Green Book ini.
Orang-orang rasis yang berpandangan sempit ini seolah sudah diliputi perasaan superior dan insecure dalam kadar ekstream yang membuat mereka lupa akan hakekat manusia.
Alasan ini nampaknya dipegang Don untuk berani mengambil resiko menjalani tour ke negara bagian wilayah selatan yang terkenal rasis. Dia seakan ingin menyampaikan pada orang banyak, bahwa dirinya juga manusia dengan kapasitas yang sama―bahkan lebih―dengan mereka―orang-orang kulit putih. Dan untuk merubah pandangan banyak orang, kejeniusan saja tidak cukup, dibutuhkan juga keberanian mengambil resiko.
Film ini tidak mengandalkan “isu” semata sebagai senjata. Masalah segregasi rasial memang menjadi tema besar, namun dinamika hubungan antara Tony dan Don bisa dibilang adalah pesona utama dari film ini. Dalam skenario yang kokoh, kisah mereka berdua berhasil dihadirkan dengan apik.
Mulai dari latar belakang Tony sebagai seseorang yang rasis berhasil dijelaskan dengan penggambaran yang tepat, bukan sekedar narasi yang basi. Kemudian interaksi antara Tony dan Don yang juga memberikan pengalaman lengkap (hubungan yang hangat, perasaan haru dan interaksi yang lucu). Perubahan sikap Tony pada Don juga dibangun dengan sangat baik.
greenbook_poster

Dalam perjalanan yang mereka tempuh, ada pertumbuhan karakter yang turut terjadi dengan transisi yang begitu smooth. Pencerahan yang dialami kedua tokoh utama, terutama Tony, terjadi seiring berkembangnya cerita. Pencerahan yang sangat subtil, tidak tampak ujug-ujug.
Skenario kuat yang melandasi alur cerita dan pertumbuhan karakter inilah yang kemudian berhasil mengikat emosi penonton terhadap hubungan Tony dan Don beserta cerita perjalanan mereka.
Penampilan apik dari Viggo Mortensen dan Mahershala Ali juga perlu mendapatkan apresiasi lebih. Mereka berdua sangat berhasil menghidupkan sosok Tony dan Don. Tidak semata-mata meniru gestur tokoh aslinya, mereka berdua benar-benar bisa masuk ke dalam karakter dan menghidupkan jiwa karakter. Tidak ada bekas-bekas ingatan terhadap peran-peran mereka di film-film sebelumnya. Sepanjang menonton film, kita hanya melihat sosok Tony dan Don yang dihidupi dengan sangat baik oleh mereka berdua.
Sebagai penunjang yang tidak bisa dikesampingkan, sinematografi di film ini juga tidak bisa dilihat sepele. Sean Porter bisa memberikan visualisasi yang cukup kuat. Tone warnanya sangat nyaman bagi mata penonton dan menguatkan mood film. Detail shoot nya juga menguatkan adegan-adegan yang tampaknya sederhana.
Banyak yang menjagokan Green Book sebagai pemenang best picture di Oscar. Sepertinya saya juga mau masuk dalam barisan orang-orang tersebut. Green Book. Sebagai sebuah film, Green Book memberikan rasa yang pas dalam satu sajian utuh. Dramanya menyentuh, konfliknya tidak kacangan, komedinya lucu berkelas, skenarionya kokoh, performa pemainnya luar biasa hidup, dan visualisasinya juga indah. Tidak sekedar membawa pesan moral, tujuan mendasarnya untuk menghibur juga berhasil dicapai. (njhoo)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.