[REVIEW FILM] KELUARGA CEMARA: Harta yang Paling Berharga adalah Keluarga.

DtUqr0sU8AAvZNX

Sinopsis:
Karena bangkrut dan semua aset propertinya disita, Abah terpaksa harus membawa Emak, Euis, dan Ara mengungsi ke rumah peninggalan orang tuanya di desa (sekitar Bogor, Jawa Barat). Dalam kondisi ekonomi yang sulit, berbagai masalah mulai bermunculan dalam kehidupan keluarga ini. Tak semata bermasalah secara ekonomi, konflik batin juga menimpa tiap anggota keluarga, terutama Abah dan Euis.  Meski dalam keadaan yang susah, keluarga ini tetap berusaha bersama-sama melewati semua masalah.

Director : Yandy Laurens

Writer : Yandy Laurens, Gina S. Noor

Cast : Ringgo Agus Rahman (Abah), Nirina Zubir (Emak), Adhisty Zara JKT48 (Euis), Widuri Sasono (Ara), Asri Welas (Ceu Salma), Etc.

Published : 3 January 2019

Duration: 1h 50min

Rating: 7.5/10

***



Pada dasarnya saya tidak tumbuh dengan serial TV Keluarga Cemara, apalagi membaca bukunya. Jadi saat tau bahwa Keluarga Cemara akan diadaptasi lagi dalam sebuah film, tak ada tekanan nostalgia yang membuat saya cukup antusias.
Yang membuat saya tertarik untuk menontonnya adalah nama Visinema dan Yandy Laurens. Visinema sudah membuktikan bahwa film-film yang mereka produksi memiliki kualitas cerita dan dieksekusi dengan teknis yang baik. Nama Yandy Laurens juga cukup memikat saya dengan beberapa garapan web seriesnya yang berhasil menunjukan kualitas narasi drama yang luar biasa.
Keadaan ini bisa jadi adalah sebuah keuntungan bagi saya. Tanpa adanya referensi terhadap produksi karya sebelumnya, saya bisa lebih leluasa menikmati film Keluarga Cemara ini karena tidak ada tendensi untuk membandingkannya dengan produksi karya sebelumnya. Apalagi sudah banyak beredar kabar bahwa adaptasinya disesuaikan dengan era terkini. Bisa dipastikan akan ada banyak perombakan kisah, setting, dan juga latarnya, menyesuaikan dengan pembaharuan yang ingin dibawakan.
Awalnya, saya mengira bahwa film ini akan mengeksploitasi kesedihan dan mengglorofikasi kemiskinan. Hal ini seperti sudah jadi “SOP” dalam cerita keluarga kaya yang kemudian jatuh miskin khas Indonesia. Untungnya tidak demikian.
Skenario film ini disusun lepas dari kesan remeh temeh. Jika sekilas dilihat, alur cerita dan konfliknya memang terasa cukup basic, tapi hal ini malah menjadikan ceritanya tidak pretensius dan bisa lebih relate dengan realita. Sebenarnya jika kita mau mengamati lebih lagi, ada sebuah kedalaman yang ingin disampaikan dalam cerita yang tampak basic tadi.
Lebih dari sekedar film yang membahas tentang keluarga, konflik batin yang dialami Abah buat saya adalah menu yang cukup dominan. Konflik seakan berpusat pada sosok Abah yang terjebak dalam rapuhnya maskulinitasnya. Abah merasa bertanggung jawab terhadap semua masalah yang menimpa keluarga ini. Dia begitu menekan dirinya sendiri.
maxresdefault

Masalah uang bahkan terasa tidak begitu mencolok. Umumnya masalah uang dan susahnya  hidup miskin akan dieksploitasi habis-habisan. Tapi di film ini masalah uang ditunjukan begitu tipis. Bukan masalah uangnya, malah lebih terasa ke masalah Abah yang berusaha keras mencari uang untuk mempertahankan harga dirinya sebagai kepala keluarga yang merasa bertanggung jawab terhadap semuanya.
Hubungan Abah dan Euis yang akhirnya menjadi central penceritaan. Hubungan merekalah yang menjadi tulang belakang konflik dan melengkapi konteks film secara keseluruhan. Euis menjadi korban dari rapuhnya maskulinitas Abah. Euis kerap menjadi pelampiasan kemarahan Abah.
Kebanggaan Abah sebagai laki-laki seakan terkikis. Dibalik setiap kemarahan yang dia lampiaskan pada Euis, tampak sekali bagaimana rapuhnya Abah dengan segala tanggung jawab yang berusaha dia pikul sendiri.
Jika film seperti Marlina berusaha mengkritisi sistem patriarki yang kerap tidak adil pada perempuan, film Keluarga Cemara ini seolah ingin menunjukan bahwa sistem patriarki juga sangat membebani laki-laki.
Abah layaknya laki-laki Indonesia pada umumnya. Dididik dengan sistem yang menuntut laki-laki harus kuat dan bertanggung jawab terhadap semuanya. Ada perasaan tidak terima saat Abah harus diam dirumah dan urusi Emak. Harga dirinya sebagai laki-laki seolah menolak kondisi lemah tersebut.
Menyoroti kerapuhan Abah dalam budaya patriarkis yang masih melekat dalam dirinya menjadi value yang cukup penting bagi saya. Setelah melalui proses perenungan pasca menonton, saya mendapatkan pemahaman bahwa pesan ini memang perlu untuk dipopulerkan. Selama ini yang selalu disoroti bahwa laki-laki itu kuat dan superior. Narasi tentang kerapuhan dan kelemahan laki-laki memang perlu sekali-kali diangkat.
Pada akhirnya, ada sebuah adegan yang dibuat untuk menyentil perkara ini, yaitu saat Abah ditegur seorang ibu-ibu driver Go-jek. Hingga akhirnya saat cerita berkembang pun, Abah diingatkan kembali bahwa anggota keluarga yang lain juga punya peran dan tanggung jawab masing-masing dalam keluarga.
Secara plot, film ini cukup solid dari awal hingga akhir. Sejak awal, kita sudah diperhadapkan dengan konflik. Konflik tipis-tipis di awal menjadi set up yang kuat sebelum menuju puncak konflik. Akumulasi masalah akhirnya bisa benar-benar pecah menjelang babak ketiga.
Sayangnya ada beberapa plot hole yang sedikit menjadi cacat. Meski tidak terlalu signifikan, tapi hal ini agak sedikit mengganggu logika cerita.
8-keteladanan-yang-diajarkan-tiap-karakter-film-keluarga-cemara-190109r

Atmosfer kehangatan dalam film ini membuatnya enak untuk dinikmati. Film ini tidak cengeng. Momen haru dan sedih ditempatkan pada situasi yang tepat. Porsinya juga pas, tidak berlebihan. Bahkan momen haru dan komedi juga bisa dihadirkan dengan seimbang. Setelah momen haru, ada komedi yang dihantamkan. Hal ini membuat film ini terasa lebih menyenangkan. Toh untuk menyentuh tidak harus menunjukan kesedihan yang lebay.
Saya menikmati character development di film Keluarga Cemara ini. Sosok Abah, Emak, Euis, dan Ara sangat real. Ditempatkan sesuai kapasitasnya masing-masing. Beban konflik dipusatkan pada Abah dan Euis, Emak dan Ara bertugas untuk melengkapi. Kombinasi ini terasa pas.
Biasanya, dalam film drama abal-abal pertumbuhan karakter kurang dieksekusi dengan baik. Perubahan karakter bisa terjadi secara tiba-tiba tanpa latar belakang yang kuat. Tapi di film ini setiap karakter benar-benar dibuat bertumbuh seiring berjalannya cerita. Pemahan dan respon karakter juga turut bertumbuh akibat akumulasi pengalaman dalam berbagai kejadian.
Pemilihan cast untuk film ini juga sangat pas. Ringgo, Nirina, Zara dan juga Widuri berhasil menghidupkan karakter Abah, Emak, Euis dan Ara dengan sangat baik. Chemistry mereka sebagai keluarga juga terbangun dengan kokoh. Penonton bisa diyakinkan bahwa mereka benar-benar keluarga. Sebuah apresiasi juga perlu diberikan pada Zara dan Widuri. Sebagai pendatang baru, mereka berhasil menunjukan kualitas akting yang tidak bisa disebut biasa saja.
Film Keluarga Cemara berhasil membangkitkan romantisme hubungan keluarga. Seperti taglinenya, “Harta yang paling berharga adalah keluarga”. Yandy Laurens memang memiliki kapasitas dalam membangun narasi drama yang kuat. Pada akhirnya, film yang dikerjakan dengan sepenuh hati, pasti akan mampu menyentuh hati penontonnya. (JA)



NB: Saat menontonnya, film ini sudah mendapatkan lebih dari 1 juta penonton. Keluarga Cemara menjadi film Indonesia pertama yang mendapatkan 1 juta penonton ditahun 2019. Sebuah pencapaian yang cukup layak untuk didapatkan dan sebuah kebanggaan menjadi bagian dari sekian juta penonontonnya.

1 komentar:

  1. Saat serial ini rame ada yang komen ke sutradaranya kok endingnya gak dibuat mereka berhasil, bahagia dan kaya.

    Jadi persepsi bangsa kita ending kehidupan harus kaya.

    Keluarga cemara sukses membalikkan persepsi tsb.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.