[REVIEW FILM] GLASS: Apakah Superhero Benar-benar Ada?

Glass Head

Sinopsis:
David Dunn dan The Beast (salah satu kepribadian Kevin) berhasil dilumpuhkan dan ditangkap saat mereka tengah bertarung. Keduanya kemudian dibawa ke sebuah rumah sakit yang dikelola dr. Ellie Staple untuk diisolasi. Di tempat isolasi tersebut David dan Kevin mulai mempertanyakan kekuatan super mereka. Mr. Glass, “kawan lama” David juga turut diisolasi ditempat tersebut. Sebuah perencanaan besar untuk menggemparkan dunia tengah dipersiapkannya, tapi lebih dulu dia harus keluar dari tempat isolasi tersebut.

Director: M. Night Shyamalan

Writer: M. Night Shyamalan

Cast: James McAvoy (Kevin Wendell Crumb with 24 personalities), Bruce Willis (David Dunn), Samuel L. Jackson (Elijah Price), Sarah Paulson (Dr. Ellie Staple), Anya Taylor-Joy (Casey Cookea), Spencer Treat Clark (Joseph Dunn), Charlayne Woodard (Mrs. Price), Luke Kirby ( Pierce), Adam David Thomson (Daryl), Etc.

Published: 16 January 2019 (IND)

Duration: 2h 9min

Rating: 8.0/10

***



Film dengan tema superhero nyatanya tidak melulu mengenai adegan bertarung disertai efek CGI yang spektakuler. Melalui film Unbreakable (2000), M. Night Syamalan membuktikan bahwa masih ada plot cerita alternatif yang bisa digunakan dalam penggarapan sebuah film bertema superhero.

Pada film Unbreakable (2000), M. Night Syamalan bermain-main dengan psikologis David Dunn yang mempertanyakan kemampuan fisiknya. Sejak bertemu dengan Elijah Price dan mendengar teorinya tentang superhuman, David semakin bertanya-tanya tentang jati dirinya yang sebenarnya.


Setelah David mulai menerima kenyataan tentang kekuatannya, dia harus menerima fakta pahit bahwa teman yang selama ini berusaha meyakinkan dirinya terhadap kekuatan yang dimilikinya, adalah penjahat terbesar yang menjadi otak dari berbagai bencana kecelakaan termasuk kecelakaan kereta yang menimpanya.

Tak disangka-sangka, ternyata kisah tadi masih memiliki kelanjutan. Split (2016) dibuat. Dikisahkan, Kevin Wendell Crumb yang memiliki 24 kepribadian membuat geger kota karena penyekapan anak-anak SMA yang dia lakukan. Diantara 24 kepribadian yang dimilikinya, terdapat satu kepribadian yang paling buas dengan kekuatan fisik diluar nalar benama The Beast.

Semua orang yang menonton film Split (2016) tidak ada yang mengetahui bahwa ini merupakan sequel dari film Unbreakable (2000) hingga menit-menit terakhir. Di ending film ditunjukan sosok David Dunn yang tengah melihat berita tentang kasus penyekapan yang dilakukan Kevin. Tidak ada yang menyangka bahwa David Dunn, Mr. Glass, dan Kevin ternyata ada dalam satu semesta.

Semua fans M. Night Syamalan kemudian mulai banyak mengoceh tentang film penutup trilogy yang akan mempertemukan 3 karakter ikonik tadi. Hingga akhirnya di tahun 2019 ini, Glass di rilis dan menghasilkan berbagai komentar. Ada yang terpuaskan, tapi tak sedikit pula yang merasa antiklimaks. Bisa dibilang film ini dicintai oleh fans, tapi dibenci kritikus.

Lalu bagaimana dengan saya? Saya ternyata cukup terpuaskan dengan film Glass ini dan saya berdiri di sisi yang mencitai film ini.

Karena sebelumnya sudah menonton Unbreakable (2000) dan Split (2016), saya sudah mengantisipasi bahwa film ini akan lebih banyak bermain di narasi. Saya tidak berekspektasi akan ada aksi pertarungan yang epik antara David Dunn dengan The Beast. Formula psychology thriller yang mengeksplorasi kejiwaan tokoh, dengan plot twist khas Syamalan, saya yakini akan kembali digunakan.
Benar saja, babak kedua dari film ini lebih banyak muncul elemen percakapannya. Latar belakang, kedalaman jiwa, dan motif dari karakter mulai diungkap dan dieksplorasi lebih mendalam. Untuk orang-orang yang tidak betah dengan plot pelan berdiaog panjang, babak kedua ini mungkin terasa sangat membosankan. Apalagi di babak pertama, kita sudah dipertontonkan perkelahian sengit antara David Dunn dengan The Beast, tapi di babak selanjutnya malah terjadi penurunan tensi secara drastis.
Untungnya saja, saya bisa cukup menikmati hal ini. Di babak kedua ini saya berusaha menyelami pokok pikiran cerita yang ingin diusung Syamalan. Agak kaget memang, saat sosok dr. Ellie Staple menghadirkan kontradiksi terhadap tema besarsuperheroyang dibawa oleh film ini.
glass 1

Tema besar yang sudah dibangun kuat melalui dua film sebelumnya seakan dipatahkan sendiri. Awalnya hal ini membuat garuk-garuk. Tapi saat dengan tenang mengikuti alur ceritanya, saya mulai bisa meraba kemana arah cerita ingin dibawa.

Pada akhirnya sayapun menangkap bahwa sosok superhero hanyalah superhuman. Dia mungkin “super”, tapi jangan dilupakan juga bahwa dia masih tetap “human”. Jiwa yang labil, menjadi salah satu bagian dari diri mereka. Tak hanya sekedar ahli dalam bertarung dengan sosok kuat lainnya, mereka juga kerap mengalami pertarungan besar melawan pikirannya sendiri. Apakah yang diyakini dalam pikirannya selama ini adalah kebenaran ataukah ilusi? 

Skemanya sudah jelas, film ini berpusat dalam pergolakan psikologis tokohnya. Jadi saya melihat kontradiksi yang dibawa dr. Ellie Staple adalah sebuah penguat dari skema ini. Untuk membuat narasi tentang pergolakan psikologi para tokoh terasa lebih solid. 
Saya berusaha memperhatikan detail-detail kecil yang ditunjukan dalam alur ceritanya. Semembosankan apapun, saya coba untuk tetap terikat dalam film. Biasanya Syamalan akan menggunakan setiap detail tadi sebagai benang merah pada plot twistnya.
Benar saja, pada babak ketiga plot twist dihadirkan dengan matang. Semua plot twistnya tidak cacat logika. Sebab akibatnya terpampang dalam cerita. Penempatan plot twistnya juga pas. Kematangan ini menunjukan bahwa Syamalan memang sangat peka dalam urusan ini, membangun plot twist seperti sebuah permainan puzzle yang sudah sangat dia kuasai. Meski pertarungan terakhir terasa kurang epik, kematangan plot twist yang dihadirkan sebagai penutup sudah memuaskan saya.
Banyak kritikus melihat Glass sebagai penutup yang penuh kecacatan yang seharusnya bisa dibuat lebih nendang lagi. Tapi buat saya Glass adalah penutup yang cukup. Meski tanpa aksi yang epik, rangkaian ceritanya cukup menyenangkan untuk diikuti. Plot twist yang dimunculkan juga tepat guna, tidak asal ngetwist namun juga turut menguatkan cerita. Tentu saja masih ada beberapa kekurangan, maka dari itu, saya menyebut film ini sebagai penutup yang cukup.
Jika memang banyak yang mengkritisi ceritanya, harus obyektif, teknis dari film ini sangatlah proper. Kita akan diperlihatkan prespektif kamera yang unik dan tidak biasa. Penempatan prespektif kamera ini juga menguatkan mood cerita pada beberapa momen.
Akting James McAvoy di film ini juga adalah anugrah yang tak bisa disangkal. Sejak Split, performanya tidak berubah. Dia bisa berakting secara maksimal pada setiap kepribadian yang dimiliki Kevin. Bahkan di film ini, kita bisa menikmati bagaimana perubahan kepribadian tadi terjadi dalam hitungan detik. Merubah persona pada masing-masing kepribadian dengan jeda waktu yang singkat adalah skill akting level tinggi yang dipertontonkan James McAvoy.
Setiap cast juga bermain dengan solid. Bruce Willis dan Samuel L. Jackson memerankan porsi mereka dengan baik. Cast pendukung seperti Sarah Paulson, Anya Taylor-Joy, Spencer Treat Clark, dan Charlayne Woodard juga mengisi bagian mereka dengan baik. Setiap tokoh yang diperankan dengan solid akhirnya bisa mendukung dan menguatkan cerita.
Arahan dari Syamalan yang memiliki visi jelas juga membuat film ini terasa lebih solid. Meski tak sedikit yang kurang puas, namun tetap saja masih banyak yang menikmati treatment Syamalan pada film ini.
Saya menyadari kapasitas saya belum cukup mumpuni sebagai seorang reviewer. Pemahaman saya dalam menilai film juga masih terlalu basic. Saya hanya berucap jujur bahwa selama di bioskop, saya mendapatkan pengalaman menonton yang menyenangkan. Jadi saya tak membutuhkan kenaifan untuk merasa puas dengan film ini, karena saya memang cukup puas. (JA)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.