[REVIEW FILM] SEKALA NISKALA: Potret Sureal Kembar Buncing.

Poster Sekala Niskala

Sinopsis: Tantri, anak perempuan berusia 10 tahun, memiliki seorang kembaran laki-laki bernama Tantra. Mereka selalu berdampingan menghabiskan waktu penuh keceriaan. Hingga akhirnya Tantra mengalami sakit keras yang membuat tubuhnya tak mampu lagi bergerak. Dengan ikatan emosional yang begitu kuat, Tantri membawa dirinya bersama Tantra kedalam dunia imaji yang masih menyatukan mereka. Mereka masih bisa bermain bersama dalam dunia rekaan Tantri. Dalam alam imaji yang sureal ini Tantri merasakan keceriaan bersama Tantra kembali dan mengeluarkan sejumlah ekspresi diri.
Director: Kamila Andini
Writer: Kamila Andini
Cast: Ni Kadek Thaly Titi Kasih (Tantri), Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena (Tantra), Ayu Laksmi (Ibu), Happy Salma (Perawat), Etc.
Published : 1 Maret 2018
Rating: 8.5/10
***


Hening menyelimuti ruangan bioskop. Di layar muncul beberapa credit soal penghargaan-penghargaan yang sudah dicapai film ini dan hal-hal lain yang tak cukup saya perhatikan. Saat masuk scene pertama, tak ada sedikitpun alunan musik pengantar.
Atmosfer di ruangan bioskop benar-benar senyap. Rasanya seperti sedang menonton film horor. Beruntung, semua penonton sudah dewasa, tak tampak wajah-wajah abg labil yang kerap kemripik merusak suasana. Atmosfer film dan ruangan terasa begitu menyatu.
Masuk scene pertama, suasana masih terasa sunyi. Setting di rumah sakit yang memperlihatkan seorang bocah laki-laki teronggok di kasur tak berdaya, dan seorang bocah perempuan berdiri diluar ruangan penuh ketakutan, membuat saya—dan mungkin juga penonton lainnya—mulai menerka arah cerita film ini.
Hingga akhirnya film berjalan perlahan mempersembahkan sajian fantastis yang tak pernah terbayangkan. Mematahkan sejumlah terkaan. Sajian sureal tentang kehidupan Tantri dan Tantra, dengan garis tipis yang memisahkan dunia nyata dan fantasi benar-benar menjadi teror dalam pikiran.
Merinding rasanya. Bahkan seluruh penonton masih terduduk diam, berdiskusi dengan pasangan di sebelahnya—tentu saja saya bukan termasuk diantaranya, tidak perlu saya jelaskan alasannya—hingga credit title berakhir.
Sebuah pengalaman magis begitu mendalam saya rasakan ketika melihat film ini. Sejak diputar perdana di Toronto International Film Festival pada tahun 2017 lalu, film ini kemudian banyak menjadi perbincangan. Itulah salah satu alasan yang mendorong saya ingin menonton film ini.
Tantri dan Tantra yang adalah sepasang kembar buncing (kembar dengan jenis kelamin berbeda), di gambarkan sebagai sebuah simbol keseimbangan. Mereka saling melengkapi satu sama lain. Ditunjukan, dalam perbedaan, mereka masih begitu padu dan saling mengisi satu sama lain.
Kebersamaan mereka akhirnya terputus saat didapati dalam otak Tantra terdapat tumor yang membuatnya tak bisa bergerak dan harus teronggok di rumah sakit. Kondisi ini seakan menekan Tantri. Tampak sekali Tantri tak bisa menerima kondisi ini.
Dalam perasaan rindu yang begitu mendalam, Tantri akhirnya masuk dalam dunia rekaan. Membawa Tantra masuk kedalamnya dan mengajaknya bermain bersama. Berharap dia masih bisa melewati keadaan normal bersama Tantra.
Setiap malam Tantri akan menemui Tantra dalam dunia rekaannya dan bermain bersama. Namun saat siang hari, Tantri harus melihat kenyataan tentang kondisi adiknya. Imajinasi Tantri layaknya sebuah penyangkalannya terhadap kondisi ini. Bagaimana seorang anak kecil berjuang menghadapi kenyataan yang begitu pilu, membuat saya selaku penonton merasakan kegetiran. Sesuatu yang sungguh ironis.
Dari sinilah plot cerita mulai berjalan. Plot cerita sebenarnya sederhana. Menekankan pada usaha Tantri untuk bisa terus bermain bersama Tantra. Karena Tantra tak lagi bisa bergerak, dunia imajinasilah yang digunakan oleh Tantri sebagai katalis untuk bisa bersua dengan Tantra dan melepas rindunya.

Poster Sekala Niskala

Dalam dunia imajinasi Tantri inilah, potret-potret sureal ditunjukan. Kamila Andini sungguh jenius dalam meramu film ini. Dunia anak-anak yang kelihatan sederhana, bisa disajikan begitu megah dengan elemen sureal dan dunia fantasi yang unik.
Kamila Andini tampak begitu sensitif dalam menangkap dan memahami dunia anak-anak. Anak-anak memang kerap bermain dalam imajinasi yang tak biasa dipahami orang dewasa. Hal inilah yang kemudian dieksplore cukup dalam dan disajikan dengan begitu luar biasa.
Dunia fantasi yang coba ditampilkan dalam film ini bukannya dunia fantasi biasa yang tanpa esensi. Pemilihan setting film di Bali terasa begitu pas. Tradisi mengenai dunia nyata dan kasat mata masih begitu kental dan dihidupi oleh masyarakat Bali hingga sekarang. Potret sureal yang coba ditampilkan dalam film ini akhirnya seperti memiliki ikatan yang kuat dengan elemen budaya di Bali yang masih sangat kental perihal tradisi spiritual yang mistik. Kuatnya latar belakang yang dibangun membuat setiap Tantri beradegan dalam dunia rekaannya, ada nuansa spiritual dan juga mistis yang sampai ke penonton—setidaknya itu yang saya rasakan.
Dalam film ini, Kamila Andini benar-benar membebaskan penonton dengan presepsinya masing-masing. Batas antara dunia nyata dan dunia imajinasi benar-benar kabur. Bahkan seperti tak ada niatan untuk memberikan penjelasan masuk akal perihal fenomena yang Tantri alami.
Hanya beberapa tanda maupun simbol—seperti telur dan bulan purnama—yang disebar rapi sepanjang film sebagai sebuah clue bagi penonton untuk bisa mencerna arah cerita.
Film ini sungguh menggetarkan jiwa. Saat menontonnya, mood film akan mempengaruhi emosi kalian. Perasaan pilu, getir, dan sedikit harapan akan kalian rasakan. Cobalah nikmati dengan perasaan kalian, kesampingkan sebentar akal, dan kalian akan merasakan suatu pengalaman spiritual saat menonton sebuah film. Sebuah pengalaman yang sangat jarang didapati ketika menonton film-film lain.
Secara produksi, film ini juga digarap begitu niat. Tampilan visual dan koreografi yang dibangun dalam film ini sungguh luar biasa. Perpaduan keduanya berhasil membangun film dengan sangat sempurna. Nuansa imajinatif dan surealnya menjadi semakin terasa.
Anggi Frisca selaku sinematografer, terlihat begitu bekerja keras untuk bisa menangkap momen-momen krusial saat berada dalam dunia imajinasi Tantri. Terlebih saat Tantri menari dibawah bulan purnama, sinematik memukau terasa begitu padu dengan tarian yang dilakukannya. Sepertinya bahasa visual memang lebih dominan dalam film ini, sangat sedikit sekali dialognya.
Untuk kalian yang malas berfikir saat menonton film, lebih baik kalian memilih film lain. Selain itu pace film ini begitu lambat. Jika belum terbiasa, kalian bisa jadi akan sangat bosan. Jadi, daripada kalian menontonnya dan mencerca film luar biasa ini sebagai film tak jelas, lebih baik pilih film lain yang lebih sesuai dengan selera kalian.
Namun jika kalian ingin merasakan sensasi yang menggetarkan jiwa ketika menonton sebuah film, Sekala Niskala akan sangat berhasil mememuaskan kalian. Bahkan kalian akan dibawa merasakan pengalaman menonton film yang tak biasa. Begitu sureal dan imajinatif.
Sungguh sangat menyesal jika kalian tidak menontonnya segera, karena sepertinya film semacam ini tidak akan muncul lagi dalam waktu dekat. (JA)
NB : Film ini meraih beberapa penghargaan internasional diantaranya adalah  di Asian Pasific Screen Award sebagai film remaja terbaik, di JAFF sebagai film terbaik, di Tokyo FilMeX sebagai film terbaik, dan di Berlin Internasional Film Festival sebagai Generation KPlus International Jury.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.