Movies
[REVIEW FILM] LOVE FOR SALE: Bujang Lapuk Menemukan Cinta Sejati Lewat Aplikasi.
Sinopsis: Richard, lelaki 41 tahun yang masih betah menjomblo dengan kehidupan yang membosankan. Hidup berdua bersama kelun—seekor kura-kura sahabatnya—sembari menjalankan bisnis percetakan warisan keluarganya, sudah terasa cukup bagi Richard. Hingga suatu waktu, teman nobar Richard akan menikah dan menantang Richard untuk membawa pasangannya. Karena mempertaruhkan harga dirinya, Richard berusaha mencari wanita untuk diajak ke resepsi pernikahan temannya tersebut. Karena tak kunjung mendapatkan seseorang yang tepat, akhirnya Richard menggunakan aplikasi layanan penyedia teman kencan, Love.inc.
Director: Andibachtiar Yusuf
Writer: M Irfan Ramly, Andibachtiar Yusuf
Cast: Gading Marten (Richard), Della Dartyan (Arini), Verdi Solaiman (Panji), Rukman Rosadi (Pak Syamsul), Adriano Qalbi (Jaka), Albert Halim (Raka), Sabrina Rochella (Mira), Vanda Mutiara (Danti)Etc.
Published : 15 Maret 2018
Rating: 7.8/10
***
Sepertinya, masalah ke“Jomblo”an belum akan habis diperas untuk dijadikan tema sebuah film. Entah sudah berapa banyak judul film yang mengangkat tema kejombloan ini. Sayangnya film-film dengan tema ini tak sedikit yang berujung tragis.
Kebanyakan film yang mengangkat tema ini, terjebak dalam plot cerita yang begitu-begitu saja. Eksekusi yang tak maksimal juga membuat kesan film tersebut seperti FTV yang nyasar di bioskop.
Apakah tema soal jomblo sebegitu sulitnya digali, sehingga banyak film yang plot ceritanya terkesan seragam dan hasil filmnya begitu chessy? Tidak juga, toh nyatanya M Irfan Ramly dan Andibachtiar Yusuf mampu menulis dan menggarap film Love For Sale dengan begitu fantastis.
Sebenarnya, plot cerita dari Love For Sale tidak sepenuhnya baru. Seorang yang trauma akan kisah cinta masa lalu dan belum menemukan sosok pengganti yang pas, sehingga masih bertahan untuk hidup sendiri. Ditantang kawan-kawannya membawa pasangan dengan mempertaruhkan harga dirinya, kemudian berusaha mencari pasangan bohongan, mencoba mengajak orang-orang disekitarnya dan gagal, hingga akhirnya mencoba peruntungan melalui biro jodoh.
Jika dicermati, plot cerita semacam ini akan dengan mudah kalian temukan di banyak film, bahkan ftv. Tapi yang membuat film ini menjadi spesial adalah bagaimana ceritanya dibangun rapi dan eksekusi film yang dikerjakan dengan penuh perhitungan.
Film ini tampak begitu realistis dan dekat dengan kenyataan. Misalnya saat sosok Richard dimunculkan, Richard tampak menggunakan singlet dan sempak buluk ketika bangun pagi, diiringi gerakan garuk-garuk pantat dan peler. Hal-hal semacam ini begitu dekat dengan kehidupan saya—bahkan terkadang saya melakukan hal serupa.
Bagaimana karakter Richard dibangun juga terasa real. Richard dengan fashion yang buruk, ketus, dan disiplin waktu memberikan gambaran yang pas tentang latar belakang dirinya yang sudah jomblo hingga usia 41 tahun. Karena terbiasa hidup sendiri, membuatnya begitu strict dan ingin semuanya berjalan dibawah kendalinya. Hal ini tampak saat Richard berinteraksi dengan karyawan-karyawannya.
Kemudian saat bertemu dengan Arini, tidak serta merta Richard kemudian tergila-gila. Richard menunjukan sikap sungkan. Hingga akhirnya Arini tinggal bersama Richard. Hubungan mereka berdua dibangun dengan perlahan. Tidak buru-buru. Diawali dengan sikap malu-malu, kemudian berangsur luwes.
Dialog-dialog yang muncul dalam film ini juga tampak dibangun dengan hati-hati. Seakan ingin menghadirkan dialog yang serealistis mungkin. Bisa dilihat dari obrolan kecil Richard dan Arini saat membicarakan sepak bola dan mengenai latar belakang kehidupan mereka berdua. Setiap rangkaian dialog yang muncul, layaknya dialog yang biasa kita temui—bahkan kita lakukan—sehari-sehari. Tidak seperti obrolan-obrolan di FTV yang kadang merusak nalar.
Adegan sex yang coba ditampilkan dalam film ini juga dikerjakan dengan sangat baik. Detail-detail kecil seperti BH Arini yang dilepas dan orgasme Richard menunjukan bagaimana adegan ini ingin dihadirkan se real mungkin.
Kisah cinta yang dihadirkan melalui film ini bukan kisah cinta utopis. Perasaan Richard yang merekah, muncul seiring berjalannya waktu dirinya mulai terbiasa dengan kehadiran Arini di hidupnya. Kisah cinta yang sungguh dewasa, baik secara pengkisahan maupun penggarapan.
Love For Sale juga tak absen memasukan muatan kritik sosial. Sepertinya ini menjadi salah satu ciri khas film-film produksi Visinema. Muatan sosial yang ingin disampaikan begitu menyatu dengan cerita film. Penyampaian yang smooth ini membuat kritik sosial ini terasa tidak chessy maupun menggurui.
Unsur-unsur komedi juga coba dihadirkan dalam film ini. Komedi yang dihadirkan benar-benar menyatu dalam film, tidak kaku dan absurd. Bukan komedi yang terlalu kentara, tapi cukup menyegarkan.
Naskah yang baik tidak akan menjadi optimal jika performa pemerannya tidak sama-sama baik juga. Gading Marten dan Della Dartyan sangat berhasil memerankan Richard dan Arini.
Interpretasi yang terbangun terhadap sosok Richard dan Arini terpenuhi dengan sangat baik. Semuanya sungguh diperankan dengan sangat pas oleh mereka berdua. Bahkan Gading bisa begitu apik mengikuti pertumbuhan karakter Richard. Dari yang awalnya pemarah dan strict, kemudian berangsur lebih toleran dan perhatian.
Debut perdana sebagai pemeran utama, oleh Gading dan Della benar-benar tidak disia-siakan. Mereka menunjukan performa yang sangat maksimal.
Secara teknis, saya cukup menyukai tone warnannya. Pengambilan gambarnya juga cukup efektif. Hanya ada beberapa momen dimana kamera tampak goyang. Namun selebihnya secara teknis cukup memuaskan.
Film ini memang bukan film sempurna, tapi film ini mampu memberikan sedikit optimisme terhadap film Indonesia. Diantara begitu banyaknya film Indonesia yang ceritanya digarap tak optimal dan ceritanya sering merusak nalar, Love For Sale hadir dengan memberikan penghormatan setinggi-tingginya terhadap nalar penonton.
Ceritanya digarap dengan serius. Detail-detail kecil diperhatikan dengan teliti. Usaha yang tak sia-sia hingga akhirnya mampu menghadirkan sebuah film dengan cerita yang bisa sangat relate dengan kehidupan. Sebuah set up yang manis kemudian diakhiri dengan begitu menggigit. (JA)
Tidak ada komentar