Movies
[REVIEW FILM] MILLY & MAMET: Ini Bukan Cinta dan Rangga.
Sinopsis:
Setelah Milly dan Mamet menikah, Mamet yang memiliki passion di dunia masak harus bekerja sebagai kepala pabrik konveksi milik ayah Milly. Hal ini harus dilakukannya untuk menopang hidup keluarga pasca Milly berhenti bekerja setelah kelahiran anak mereka. Suatu ketika, sahabat lama Mamet, Alexandra, menghubungi dan mengajaknya berpartner bisnis untuk membuka restoran. Tawaran itu membuat Mamet kembali memikirkan pilihan hidupnya, antara mengutamakan keluarga atau mengambil kesempatan mengejar passionnya.
Director : Ernest Prakasa, Meira Anastasia (Co-Director)
Writer : Meira Anastasia, Ernest Prakasa
Cast : Dennis Adhiswara (Mamet), Sissy Priscillia (Milly), Julie Estelle (Alexandra), Yoshi Sudarso (James), Eva Celia Latjuba (Jojo), Roy Marten (Sony –Ayah Milly), Arafah Rianti (Sari), Isyana Sarasvati (Rika), Dinda Kanyadewi (Lela), Aci Resti (Iin), Bintang Emon (Somad), Ernest Prakasa (Yongki).
Published : 20 Desember 2018
Duration: 1h 41min
Rating: 7.5/10
***
Cinta dan Rangga adalah pasangan yang paling
iconic di zamannya. Meski sering tak akur karena kedua sosok ini sama-sama
keras kepala, tapi kedua sosok ini bisa tampak begitu manis. Terlebih hubungan
mereka selalu dipenuhi bait-bait puisi yang menghadirkan kata-kata magis.
Menyenangkan memang, saat melihat Cinta dan
Rangga dengan romansa yang mereka cipta. Tapi bagi orang-orang biasa macam saya—atau mungkin juga kalian
semua—hubungan
mereka rasanya seperti ada di awang-awang, terlalu utopis.
Kemudian hadirlah pasangan Milly dan Mamet yang dihidupkan
dalam film tersendiri. Lepas dari bayang-bayang hubungan Cinta dan Rangga yang
utopis, pasangan Milly dan Mamet hadir layaknya antitesis. Hubungan Milly dan
Mamet seperti sebuah romansa yang sangat dekat dan mudah dikenali. Di sekitar
kita, keberadaannya seakan mudah ditemui, bahkan sebagian orang mungkin
merasakannya sendiri. Alih-alih menjadi romansa yang utopis, Milly dan Mamet malah
menunjukan sebuah romansa yang lebih membumi.
Film Milly dan Mamet ini diawali dengan adegan
reuni SMA pada tahun 2013. Pada saat itu, Mamet kembali bertemu dengan geng
Cinta. Singkat cerita, sebuah moment kemudian membawa Milly dan Mamet terjebak
dalam suatu kondisi berdua. Selepas itu, sekumpulan foto-foto yang menjelaskan
perjalanan cinta Milly dan Mamet ditampilkan.
Sampai pada akhirnya, kita ditunjukan bahwa
Milly dan Mamet sudah menikah dan memiliki anak laki-laki—bernama Satria. Pada
ending AADC 2, dikisahkan bahwa Milly baru saja melahirkan anaknya. Jadi untuk
timelinenya, film Milly dan Mamet ini terjadi setelah film AADC 2.
Kesan pertama saya saat menonton film ini adalah
perasaan lega. Ernest berhasil menjaga konsistensi karakter Milly dan Mamet dari
film AADC ke spin off yang dibuatnya. Konsistensi karakter
yang tentu saja dibuat bertumbuh. Seolah kita bisa membayangkan bahwa tokoh Milly
dan Mamet di film ini secara otentik adalah Milly dan Mamet dari AADC 1 setelah
mereka tumbuh dewasa dengan segala pengalaman hidup yang mereka punya, dan
sifat-sifat dasar yang masih tetap ada.
Di AADC 1, kita dikenalkan dengan sosok Milly
dan Mamet yang tampak komikal. Lemot parah dan culun paripurna. Tapi rasanya
akan sangat menyebalkan jika normalitas mereka sebagai manusia kemudian
dikesampingkan dan terus-terusan melihat mereka berdua hidup dalam kondisi
bloon. Di film ini kita akan melihat sosok Milly dan Mamet yang tampak manusiawi.
Sosok yang kadang bersikap aneh dan tampak lucu, namun juga memiliki kehidupan
normal dengan penyikapan yang normal layaknya manusia pada umumnya.
Hal selanjutnya yang membuat saya salut pada
Ernest adalah bagaimana dia selalu memberikan pondasi yang kuat pada scriptnya.
Latar belakang cerita selalu dibangun kokoh. Latar belakang karakter beserta
motifnya juga jelas. Alur plotnya juga cukup kuat dari awal hingga akhir.
Seolah tidak ada lubang yang menimbulkan perasaan “aneh” pada alur ceritanya.
Salah satu cara unik yang digunakan Ernest untuk
menguatkan latar belakang cerita adalah pada bagian awal film saat ditampilkan
beberapa foto yang menunjukan perjalanan cinta Milly dan Mamet sejak pacaran
hingga akhirnya menikah.
Teknik ini pernah digunakan juga oleh Ernest di
film Susah Sinyal. Di film Susah Sinyal, penggunaan cara ini bisa begitu
efisien untuk menjelaskan latar belakang Ellen—bagaimana dirinya menikah muda, kemudian bercerai dan harus
mengurus anaknya sendiri. Cara ini memang tampak sederhana, tapi dengan adanya
hal ini, latar belakang cerita bisa menjadi semakin kuat.
Cerita besar dari film ini adalah tentang lika-liku
kehidupan rumah tangga muda. Pada film ini, Milly dan Mamet ditunjukan sebagai
pasangan milenial yang baru saja punya anak dan harus bertarung dengan berbagai
masalah. Pembahasan soal keluarga sepertinya masih menjadi zona nyaman Ernest.
Dia cukup ahli bermain-main disitu. Kisah kehidupan keluarga Milly dan Mamet pun
kemudian bisa ditampilkan dengan tampak alami.
Masalah-masalah seperti pembagian peran suami-istri
dalam lingkup rumah tangga, keterlibatan mertua dalam rumah tangga, hingga
dilema mengurus anak pertama bisa dihadirkan dengan begitu apik. Ada banyak
orang yang juga menyatakan diri cukup relate
dengan hal tersebut. Pembuatan kisah yang close
to reality ini jadi memiliki nilai yang cukup spesial.
Namun tetap saja ada hal yang agak sedikit mengganjal
buat saya, yaitu masalah konflik. Entah kenapa, saya merasakan konflik yang
dihadirkan kurang menanjak. Saat konflik berada di puncak, rasanya juga kurang
pecah.
Saya juga merasa konfllik yang ada di sisi Mamet
kurang mencengkram. Moment saat Mamet memutuskan resign dari pabrik, rasanya terlalu cepat. Konflik yang dia hadapi
di restoran, juga terasa kurang mencengkeram. Bahkan Mamet seperti tampak sedikit
pasif. Dalam plot cerita, Milly seolah lebih aktif. Lebih banyak membuat aksi
dan keputusan. Konflik yang hadir dari sisi Milly juga lebih terasa
dinamikanya.
Formula yang digunakan Ernest dalam film ini nampaknya masih sama dengan formula yang dia gunakan di film-film sebelumnya. Plot komedi dan drama seolah memiliki jalurnya masing-masing. Meski di film ini nampak berusaha untuk dibuat lebih melebur, tapi gaya pemisahan jalur komedi dan drama ala Ernest masih cukup terasa. Hal ini terbukti dari hadirnya tokoh yang hanya muncul sebagai penguat komedi namun sama sekali tidak berkontribusi pada perjalanan drama dalam film.
Dari sisi komedi, film ini menghadirkan situasional komedi yang elegan. Jarang
ada komedi yang terlalu absurd. Komedi yang cukup absurd cuma hadir dari
Isyana. Tapi entah kenapa, meski absurd, pembawaan Isyana bisa begitu asik dan
lucunya bisa begitu pecah. Scene komedi yang menunjukan kelakuan absurd Isyana
selalu diikuti dengan scene perdebatan yang dilakukan Mamet dan James.
Perdebatan receh ini mengingatkan saya pada scene buah atau sayur di film Cek Toko
Sebelah. Moment ini benar-benar memorable.
Banyak yang berkomentar bahwa sisi drama dari
film ini agak sedikit tertutup oleh sisi komedi yang begitu ganas. Bisa
dibilang, saya sedikit setuju akan hal ini. Apalagi disini ada banyak scene
komedi yang lebih memorable daripada scene dramanya.
Saya merasa, yang cukup menguatkan sisi drama di
film Milly dan Mamet adalah Sissy dan Dennis. Script yang baik dari Ernest
dalam membangun karakter dewasa Milly dan Mamet, bisa dengan sangat berhasil
dihidupkan oleh Sissy dan Dennis. Mereka bisa sangat kocak saat sedang
bertingkah konyol, tapi saat mereka serius, atmosfer dramanya bisa benar-benar
hidup.
Ernest memang cukup ahli dalam meramu cerita. Sudah terbukti, beberapa kali dirinya
mendapatkan penghargaan sebagai penulis script terbaik dalam ajang awarding film. Di film ini, kekuatannya
dalam meramu cerita kembali dia buktikan. Tapi yang lebih spesial, di film ini
Ernest juga melakukan pembuktian lain. Banyak orang yang menyatakan bahwa secara
teknis, Ernest sudah naik kelas. Film ini adalah film terbaik Ernest secara
teknis. Hal ini juga saya amini.
Overall, Milly dan Mamet adalah santapan tutup
tahun yang hangat. Sajiannya menggunakan bumbu yang pas, (walaupun saya merasa
sedikit kurang asin, namun ini hanya masalah selera lidah saya pribadi), platingnya juga indah, dan saat
disantap, paduan rasa yang dihasilkan bisa memicu rasa bahagia. (JA)
Tidak ada komentar