Movies
[REVIEW FILM] PENGABDI SETAN : Saat Ibu Yang Sudah Meninggal Kangen Anak-Anaknya.
Sinopsis: Ibu (Ayu Laksmi) mengidap sakit yang tidak jelas selama 3 tahun. Selama Ibu menderita sakit, banyak kejadian-kejadian aneh yang dialami oleh keluarga ini. Pasca meninggalnya sang ibu, kejadian aneh semakin banyak terjadi. Keluarga ini seakan dihantui oleh sosok Ibu dengan berbagai kejadian aneh seperti suara lonceng dan lain-lain. Kondisi rumah semakin mencekam saat mereka tahu rahasia ibu mereka dan Ibu yang datang bukan sekadar untuk menengok anak-anaknya, namun untuk menjemput mereka
Director & Writer: Joko Anwar
Cast: Bront Palarae (Bapak), Tara Basro (Rini), Endy Arfian (Tony), Dimas Aditya (Hendra), Nasar Annuz (Bondi), M. Adhiyat (Ian), Ayu Laksmi (Mother), Egy Fedly (Budiman), Aswendi Nasution (Ustadz), Elly D. Luthan (Nenek), Fachry Albar (Batara), Asmara Abigail (Darminah).
Director & Writer: Joko Anwar
Cast: Bront Palarae (Bapak), Tara Basro (Rini), Endy Arfian (Tony), Dimas Aditya (Hendra), Nasar Annuz (Bondi), M. Adhiyat (Ian), Ayu Laksmi (Mother), Egy Fedly (Budiman), Aswendi Nasution (Ustadz), Elly D. Luthan (Nenek), Fachry Albar (Batara), Asmara Abigail (Darminah).
Published: 28 Oktober 2017
Rating: 8.3/10
***
Film ini merupakan reboot dari film berjudul sama yang diproduksi pada tahun 1980an. Film klasiknya dinilai sangat berhasil, bahkan diterima hingga kancah internasional. Film klasiknya juga dianggap sebagai film horor terseram Indonesia.
Tahun 2017, Joko Anwar akhirnya mendapat kesempatan untuk me-reboot film ini. Joko Anwar mengaku, film klasik Pengabdi Setan adalah salah satu film yang membuatnya ingin mendalami dunia film. Sudah sejak lama Joko Anwar berkeingingan untuk me-reboot film ini. Akhirnya baru pada tahun 2017 ini Rapi Film selaku rumah produksi Pengabdi Setan—klasik, memberikan izin pada Joko Anwar untuk me-reboot film ini.
Film Pengabdi Setan versi klasik sama sekali belum pernah saya konsumsi. Jadi saat menonton film ini, saya tidak memiliki bahan perbandingan dengan film versi lamanya. Keputusan saya menonton film ini semata-mata karena Joko Anwar lah director nya.
Alasan lainnya ya karena yang mengajak saya menonton film ini adalah gebetan. Jadi demi mengejar progress pdkt, ya saya iyain aja.
Joko Anwar benar-benar menepati janjinya. Saat promo film, dia menyatakan bahwa film horor garapannya ini berbeda dengan film horor Indonesia yang sudah-sudah. Benar saja, selama 1 jam 47 menit saya seperti diajak naik roller coaster. Janji Joko Anwar untuk memberikan pengalaman berbeda dalam menonton film horor benar-benar ditepati.
Pertama, sound-nya. Sound di film ini bisa membuat jump scare yang optimal. Tak jarang saya melihat penonton lain yang lebih memilih menutup telinga daripada menutup mata. Hal ini membuktikan bahwa sound dalam film itu memang menyeramkan, terlebih suara lonceng ibu. Setelah film selesai, kaki saya masih gemetaran dan jantung masih deg-degan. Sound designer-nya perlu mendapat credit lebih.
Sinematografi dari film ini juga sangat mengesankan. Joko Anwar seperti ingin membangun standar baru pada film horor Indonesia. Bahwa gambar dalam film horor juga harus diproduksi secara serius. Warna gambarnya berhasil membangun mood creepy. Trik-trik kamera juga seperti dipamerkan untuk menambah kesan misteriusnya.
Bagian artistik dari film ini juga patut diapresiasi. Saya sangat menikmati film ini salah satunya karena bagian artistiknya yang benar-benar berhasil membangun setnya. Perabotan-perabotan klasik yang dihadirkan berhasil membangun suasana seperti pada tahun 1981. Set dari film ini saja sudah terasa sangat creppy.
Dari segi cerita, banyak yang memberikan review bahwa film ini agak sedikit melenceng dari cerita aslinya—makanya film ini disebut reboot bukan remake. Karena penasaran saya akhirnya menonton sedikit Pengabdi Setan versi klasiknya—setelah saya menonton Pengabdi Setan versi Joko Anwar. Benar saja, ceritanya memang berbeda.
Di Pengabdi Setan versi Joko Anwar, jumlah anggota keluarganya lebih banyak. Selain itu pemilihan tema tentang sekte pemujaan juga menjadi pembeda yang cukup menjadi perhatian.
Pemilihan tema tentang sekte pemujaan cukup menarik. Hal ini terasa baru bagi film horor Indonesia yang selama ini hanya sekadar mengekspos masalah hantu. Ya, walaupun film ini juga menghadirkan sosok-sosok hantu, tetapi film ini tidak semena-mena dalam mengeksploitasi penampakan hantunya.
Ada suatu hal yang tidak diduga, Joko Anwar juga menghadirkan selipan comedy-comedy ringan untuk melengkapi misterinya. Comedy ringan yang dihadirkan bahkan menjadi daya tarik tersendiri.
Joko Anwar mengemas film ini benar-benar penuh dengan misteri. Sejak awal film ini sudah penuh misteri, mulai dari penyakit ibu yang tidak dijelaskan, rahasia lagu ibu, perihal nenek, bahkan endingnya pun masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan dibenak penonton. Tapi bukan Joko Anwar namanya jika tidak memberikan plot twist yang agak sedikit menggantung di bagian ending.
Di sini semua pemainnya juga bermain dengan baik. Akting para pemainnya sangat memukau. Mungkin yang agak mengganjal buat saya adalah pemilihan Tara Basro sebagai Rini dan Bront Palarae sebagai ayah. Secara akting mereka memang sangat mumpuni dan berhasil membangun karakternya dengan baik. Namun, secara fisik, seperti ada yang kurang pas rasanya.
Jika dibandingkan dengan sosok ibu yang sudah cukup berumur, Bront Palarae terkesan seperti pasangan brondongnya. Bront Palarae dengan Tara Basro yang diceritakan sebagai orang tua dan anak juga tampak tidak cocok. Mereka bahkan masih tampak cocok jika disandingkan sebagai pasangan kekasih.
Tapi hal ini akhirnya berhasil ditutupi dengan kepiawaian akting mereka.
Akhirnya film ini memang cukup layak disebut sebagai film horor terbaik di era modern ini. Kualitas sinema yang apik, trik-trik camera yang diperlihatkan, skema yang pintar, pembangunan story yang unik, disertai dengan eksekusi tangan dingin Joko Anwar terhadap film ini benar-benar berhasil menghasilkan film horor yang luar biasa worth untuk ditonton di bioskop. (JA)
Tidak ada komentar