Movies
[REVIEW FILM] I AM MICHAEL : Seorang Gay yang Mencari Hidayah.
Sinopsis: Mizhael Glatzete (James Franco), seorang wartawan di XY Magazine dan seorang aktivis gay. Michael harus meninggalkan karirnya di XY Magazine karena harus mengikuti Bennet (Quinto), pasangan gay nya bekerja di luar kota. Sempat berhenti menjadi aktivis, Michael kemudian membuat majalahnya sendiri dan meneruskan perjuangannya dalam mengangkat isu kesetaraan hak para gay. Dalam perjalanannya, Michael mulai mempertanyakan tentang statusnya sebagai gay dan mulai mencari lebih dalam tentang jati dirinya yang sebenarnya.
Director: Justin Kelly
Writer: Justin Kelly, Stacy Miler (Screenplay) | Benoit Denizet Lewis (based on the magazine article “My Ex-Gay Friend” by)
Cast: James Franco, Emma Roberts, Zachary Quinto, Leven Rambin, Daryl Hannah, Avan Jogia, etc.
Published: 27 Januari 2017 (USA – Terbatas) | 29 January 2015 (Premier di Sundance Film Festival)
Rating: 6.8/10
***
Sebagai karya debutan milik Justin Kelly
(Director, writer), film ini cukup mengikat kesan secara mendalam. Premis
ceritanya cukup unik. Banyak film tentang gay yang pernah saya tonton, tapi
rasanya dengan cerita seperti di film ini belum pernah saya dapati―atau mungkin
saja referensi saya yang masih sedikit.
Film ini membahas isu yang cukup sensitif, tak
heran jika film ini pemutarannya dibatasi. Untuk mereka yang berpandangan
konservatif tentang dogma agama―seperti orang Indonesia―film ini mungkin akan
terasa seperti serial Hidayah. Tapi di Amerika dimana isu kesetaraan untuk kaum
gay sedang diexpose habis, film ini seperti menciderai perjuangan tersebut.
Dari awal film ini mengekspose bagaimana gaya
hidup gay yang penuh pesta pora, kehidupan seorang gay yang hedon, dan adegan
ranjang seorang gay. Kemudian hal ini dibenturkan dengan dogma agama yang
secara konservatif menyatakan bahwa gay merupakan perbuatan dosa dan termasuk
orientasi seksual yang menyimpang.
Jika saya memposisikan sebagai seorang gay, saya
pasti akan merasa sangat tersinggung dengan film ini. Sebagai gerakan
underground, para pejuang LGBT pasti berusaha untuk bisa exist, diterima oleh
masyarakat, dan dianggap bukan sebagai sesuatu yang tabu. Pejuang LGBT pasti
juga akan mengumpulkan “sesamanya” untuk berani menunjukan identitasnya dan
sama-sama berjuang mengkampanyekan tentang kesetaraan hak.
Di banyak film bertema gay pun, lebih banyak
menyoroti tentang seorang yang merasa dirinya cenderung menyukai sesama jenis,
namun masih beum yakin dengan hal tersebut, atau bagaimana seorang gay yang
kesulitan untuk mengaku pada orang-orang terdekatnya, ya kira-kira seperti
itulah.
Lalu munculah film tentang gay yang bertobat,
rasanya ini seperti ingin membenturkan setiap perjuangan tersebut nilai moral
masyarakat konservatif dan dogma agama tertentu.
Di luar berbagai prasangka dan pikiran-pikiran
random yang muncul di dalam otak saya, saya cukup menikmati film ini. Biarpun
masih ada sedikit ketidakpuasan mengenai penyajian film ini.
Film ini menunjukan perjalanan Michael dalam
setiap periode. Namun sayangnya perjalanan setiap periode tersebut disajikan
seperti sebuah sketsa pendek. Seolah ingin memadatkan cerita, tapi saya rasa
malah ceritanya kurang terexplorasi dengan baik. Seharusnya film ini bisa
dieksekusi lebih baik lagi dengan cara pengkisahan yang lebih mendalam. Banyak
celah potensial yang sebenarnya bisa dikembangkan untuk mengikat emosi
penonton. Tapi film ini berjalan begitu cepat dalam transisi periodenya, dan
emosinya tak terikat dengan sempurna.
Saat menonton film ini, saya seperti menonton
film dokumenter perjalanan yang kekurangan footage dan menampilkan footage yang
seadanya. Sayang sekali, premis ceritanya unik, tapi pengeksekusian dalam film
terasa banyak yang kurang.
Film ini masih cukup recomended untuk ditonton.
Pastikan kamu menontonnya dalam keadaan yang fokus dan siap-siaplah untuk
sedikit bergelut dengan rasa bosan. Kamu juga akan mendapat banyak kejutan
adegan ranjang yang tak akan kamu duga. Coba saja buktikan dan tonton sendiri. (JA)
Tidak ada komentar